secretariat@lbhpers.org
(021) 79183485

“CACAT PROSEDUR HUKUM, AKTIVIS BURUH TERANCAM EMPAT TAHUN PENJARA”

Posted by: LBH Pers
Category: Siaran Pers

Dalam Perkara Pidana No. Perkara: 383/Pid.Sus/2017/PN.JKT.Tim Atas Nama Terdakwa: Eduard Parsaulian Marpaung

Sesuai dengan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor Reg. Perkara: PDM – 196/JKT.TMR/04/2017, Klien kami didakwa dengan Dakwaan Alternatif.

Dakwaan Kesatu:

Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Atau

Dakwaan Kedua:

Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  1. Kronologi

Eduard Parsaulian Marpaung adalah aktivis buruh yang merupakan anggota Konfederasi Serikat Pekerja Sejahtera Indonesia (KSBSI). Eduard menjabat sebagai sekretaris jenderal KSBSI. Sebagai seorang aktivis, Eduard senantiasa berkomitmen terhadap perjuangan dan penegakan hak-hak buruh agar terbebas dari penganiayaan. Bentuk perjuangan dilakukan melalui bantuan setiap kasus perburuhan baik di dalam maupun di luar pengadilan, mobilisasi aksi massa untuk dibawa ke jalanan, mengatur kelompok kerja, memberikan pendidikan kepada kelompok buruh, dan menghadiri forum internasional untuk membahas perjuangan para pekerja.

Salah satu upayanya dalam membela para pekerja juga dilakukan melalui aspirasi, pendapat, atau kritik melalui media sosial, salah satunya adalah Facebook. Masalah yang dihadapi KSBSI tidak hanya di organisasi eksternal tetapi juga di dalam organisasi internal. KSBSI saat ini mengalami perpecahan dalam organisasi internal merkea. Penyebabnya adalah karena perebutan posisi dalam organisasi. Sampai akhirnya salah satu pendirinya yaitu Mukhtar Pakpahan memutuskan untuk keluar dari KSBSI dan mendirikan versi SBSI sendiri. Pihak Mukhtar Pakpahan juga tiba-tiba mengklaim bahwa logo KSBSI miliknya sendiri sehingga berhak menggunakan logo. Isu tersebut mengakibatkan Eduard dan anggota KSBSI lainnya mengganggu kinerja organisasinya.

Pada postingan tersebut, Eduard Marpaung selaku anggota dewan KSBSI yang juga aktivis sosial media sosial Facebook menyalurkan aspirasi, kritik, dan opini tentang permaslahan KSBSI dengan Mukhtar Pakpahan via Facebook. Statusnya dibuat sekitar bulan November 2014. MP Inisal dari musuh pekerja ditujukan kepada setiap Pekerja Pekerja “KSBSI, tidak ditujukan kepada orang tertentu. Mukhtar kemudian melaporkan Eduard ke Polda Metro Jaya melalui kuasa hukumnya yang bernama Gusmawati Azwar. Pelaporan yang dilakukan pada 11 Desember 2014 dengan nomor Polri: LP / 4545 / XII / 2014 / PMJ / Dit.Reskrimsus.

 Analisa Hukum Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

 Bahwa pada tanggal 21 November 2017 pihak Jaksa Penuntut Umum telah menyampaikan Surat Tuntutan Nomor Reg.Perk: PDM-196/JKT.TMR/04/2017 yang telah dibacakan dihadapan Majelis Hakim di persidangan yang terbuka untuk umum. Jaksa Umum menuntut Eduard 2 tahun 6 bulan penjara. Berdasarkan uraian analisa yuridis yang tertuang dalam Surat Tuntutan Penuntut Umum maka kami berpendapat sebagai berikut:

  1. Penuntut Umum Tidak Mampu Menunjukkan Surat Kuasa yang Ditandatangani oleh Gusmawati Azwar Selaku Kuasa dari Saksi Mukhtar Bebas Pakpahan

Bahwa di dalam uraian analisa yuridis surat tuntutan Penuntut Umum dan selama persidangan berlangsung pihak Penuntut Umum tidak mampu menunjukkan dan menyertakan alat bukti surat kuasa yang ditandatangani oleh saksi Gusmawati Azwar. Hal tersebut menunjukkan setiap tahapan proses hukum terhadap Klien kami Sdr. Eduard Parsaulian Marpaung tidak memiliki keabsahan karena diawali secara cacat prosedur. Patut diketahui bersama bahwa untuk perkara penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, untuk menentukan apakah perkara dapat dilanjutkan atau tidak tergantung dari proses awalnya apakah pengaduan dilakukan secara langsung atau tidak oleh pihak korban.

Sebagaimana surat dakwaan Penuntut Umum yang telah mendakwa Klien kami dengan Pasal 45 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas bahwa ketentuan tersebut tidak dapat dilepaskan dari ketentuan pada Pasal 319 KUHP yang berbunyi:

“Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan Pasal 316.”

Jika merujuk pada ketentuan pasal diatas maka jelas proses hukum untuk tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik wajib didahului oleh pengaduan langsung oleh pihak yang merasa terugikan tidak diperkenankan melalui proses pemberian kuasa kepada pihak lain. Kalaupun pihak yang merasa terugikan dalam hal ini saksi Mukhtar Bebas Pakpahan yang mengaku memberikan surat kuasa kepada saksi Gusmawati Azwar, sudah secara jelas dan terang surat kuasa tersebut tidak dapat ditunjukkan dan disertakan di setiap persidangan oleh Penuntut Umum. Artinya secara formil dan prosedural proses penanganan perkara ini hingga taha persidangan adalah tidak sah secara hukum.

  1. Penuntut Umum Telah Keliru dan Tidak Lengkap Mencantumkan Keterangan Ahli Dalam Menguraikan Perbuatan Pencemaran Nama Baik dan/atau Penghinaan

Berdasarkan keterangan ahli Sdr. Denden Imadudin selaku Staff Dirjen Aptika Kominfo menyatakan dihadapan Majelis Hakim bahwa mengenai substansi kalimat atau bahasa yang ditulis oleh Eduard Parsaulian Marpaung menjadi ranahnya ahli bahasa. Serta Sdr. Denden Imadudin sendiri sama sekali tidak pernah menyatakan kalau kalimat tersebut memenuhi unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

  1. Penuntut Umum Tidak Dapat Menguraikan Secara Yuridis Apakah Kalimat yang Ditulis oleh Terdakwa Memenuhi Unsur Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik

Di dalam surat tuntutan Penuntut Umum telah menuliskan kembali kalimat-kalimat yang ditulis oleh Terdakwa. Bahwa Penuntut Umum tidak menguraikan kalimat-kalimat Terdakwa yang dikaitkan secara teori dan keilmuan bahasa serta yuridis apakah kalimat tersebut memenuhi unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik atau tidak. Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Sdr. Anwari selaku Ahli Bahasa yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum menyatakan secara jelas bahwa sebutan “MP” di dalam kalimat yang ditulis oleh Terdakwa tidak definitif atau tidak jelas. Artinya sebutan “MP” tidak dapat secara langsung dihubungkan dengan seseorang atau satu individu.

  1. Analisa Hukum Perbuatan Eduard Parsaulian Marpaung dan Analisa Fakta Persidangan
  2. Pengaduan Tidak Dilakukan Secara Langsung dan Cacat Prosedur

Bahwa sebagaimana fakta-fakta yang telah dipaparkan dalan persidangan yang terbuka untuk umum, Saksi Gusmawati azwar telah secara jelas menyatakan dirinyalah yang mengadukan dugaan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan yang dituduhkan kepada Klien kami. Keterangan tersebut disampaikan sebagaimana persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi Tanggal 19 Juli 2017. Saksi Gusmawati berdalih bahwa dirinya mendapat kuasa resmi dari Saksi Mukhtar Pakpahan untuk mengadukan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan sebagaimana yang dituduhkan kepada Klien kami ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Namun berdasarkan fakta-fakta di persidangan pihak Saksi Gusmawati serta Jaksa Penuntut Umum tidak dapat menunjukkan surat kuasa baik asli maupun salinannya yang ditanda tangani oleh Gusmawati Azwar.

Ketentuan dalam penjelasan dan Putusan MK diatas semakin menegaskan bahwa penafsiran norma Pasal 27 ayat (3) harus disamakan dan merujuk pada norma Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai genus crime. Maka dapat disimpulkan ketentuan mengenai delik aduan juga berlaku terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Berdasarkan pada keterangan Ahli Informasi dan Transaksi Ekektronik yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni Sdr. Denden Imadudin bertindak sebagai Staff Kementrian Komunikasi dan Informatika RI Bagian Analis Hukum, Penelahaan, dan Bantuan Hukum Direktorat Jendral Aptika menyatakan secara tegas bahwa penafsiran dan penerapan norma dalam ketentuan pada Pasal 27 ayat (3) atau Pasal 45 ayat (3) UU ITE merujuk pada ketentuan dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Ahli yang bersangkutan juga menjelaskan bahwa dirinya selaku perwakilan Kementrian Komunikasi dan Informatika RI dalam melakukan perumusna dan pembahasan perubahan UU ITE yakni UU No.19 Tahun 2016 sebagaimana yang dijadikan dasar hukum pihak Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa Klien kami. Dengan begitu, secara kapasitas dan kompetensi telah secara jelas bahwa keterangan Ahli Kominfo tersebut semakin menegaskan dalil bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 27 ayat (3) atau Pasal 45 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang harus dilaksanakan berdasarkan konsep delik aduan absolut. Ahli pun menjelaskan lebih lanjut mekanisme pelaksanaan delik aduan absolut mewajibkan pihak yang terugikan untuk menngadu secara langsung ke pihak yang berwajib tanpa melalui kuasa hukum atau surat kuasa.

Begitu pula seperti yang disampaikan oleh Ahli Hukum Pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni Sdr. Mompang Panggabean. Ahli bersangkutan menjelaskan hal yang sama mengenai delik aduan absolut bahwa proses pengaduan harus dilakukan oleh pihak yang terugikan secara langsung tanpa melalui surat kuasa atau perwakilan. Penjelasan yang bersangkutam juga didasari pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 72 KUHP yang mengatur ketentuan mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam kejahatan-kejahatan  yang hanya dituntut atas pengaduan. Merujuk pada Pasal 72 KUHP tersebut juga pihak Ahli Sdr. Mompang Panggabean menjelaskan bahwa perkara pencemaran nama baik dan/atau penghinaan hanya dapat dituntut apabila diadukan oleh korban atau pihak yang terugikan secara langsung.

  1. Tidak Ada Bukti Surat Kuasa yang Ditandatangani Oleh Saksi Gusmawati Azwar yang Digunakan Untuk Mengadukan Sdr. Eduard Parsaulian Marpaung

Berdasarkan fakta di persidangan pihak Mukhtar Bebas Pakpahan mengaku memberikan kuasa kepada Saksi Gusmwati Azwar melalui sebuah surat kuasa secara tertulis. Berdasarkan pengakuan dari Gusmawati, yang bersangkutan menerima kuasa resmi dari Mukhtar Bebas Pakpahan untuk mengadukan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau penghinaan yang diduga dilakukan oleh Eduard Parsaulian Marpaung ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Bahwa berdasarkan pada penjelasan pada bagian 1 diatas, proses pengaduan untuk dugaan tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau penghinaan yang hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan dari pihak yang terugikan secara langsung adalah tidak sah dan proses hukumnya seharusnya dihentikan.

  1. Kalimat-Kalimat yang Ditulis oleh Eduard Parsaulian Marpaung Tidak Menyebutkan Nama Seseorang (no mention)

Berdasarkan tulisan “MP” di dalam kalimat status postingan Eduard tersebut merupakan singkatan dari Musuh Pekerja. Musuh Pekerja yang dimaksud adalah beberapa orang yang berusaha memecah belah organisasi sekaligus yang berusaha meng-klaim logo dan lambang milik KSBSI. Upaya untuk meng-klaim logo dilakukan berbagai cara yakni melalui pengajuan gugatan ke Pengadilan Niaga, menggunakan logo serta lambang KSBSI secara sepihak didalam ketentuan AD/ART, dan mendirikan serikat baru yang namanya sama dengan KSBSI yakni SBSI Solidaritas, SBSI Sejati, dan SBSI 92.

Putusan Pengadilan yang memuat pertimbangan no mention tidak dapat dipidana adalah Putusan Nomor: 292/Pid.B/2014/PN. Rbi Pengadilan Negeri Raba Bima serta dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1440 K/PID.SUS/2015 yang telah menegaskan pentingnya penyebutan nama yang dibarengi dengan adanya tuduhan.

  1. Perbuatan yang dilakukan oleh Eduard Parsaulian Marpaung Sebagai Bentuk Pembelaan Terhadap Organisasinya yakni Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.

Bahwa kalimat-kalimat yang ditulis oleh Eduard Parsaulian Marpaung yang sebagaimana yang diduga sebagai bentuk tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau penghinaan memuat suatu upaya pembelaan terhadap organisasinya yakni Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Motif perbuatan yang dilakukan oleh Eduard yang menulis kalimat-kalimat atau status di akun media sosial Facebook miliknya tidak dapat dilepaskan dari kapasitasnya sebagai Sekretaris Jendral KSBSI.

  1. Ahli Forensik Tidak Bisa Membuktikan Waktu Kejadian atau Waktu Terdakwa Mengakses Laptop Untuk Membuat Kalimat-Kalimat yang Didakwakan;

Bahwa berdasarkan kesaksian dari Saksi Ahli Foresik Polri / Polda Metro Jaya, menjelaskan bahwa Ahli tidak bisa membuktikan waktu dan alat yang digunakan Terdakwa untuk menuliskan kalimat-kalimat yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun Jaksa Penuntut Umum menyita alat bukti laptop milik Terdakwa.

Oleh karenya, penyitaan tanpa dasar yang jelas atau tidak memenuhi Pasal 39 KUHAP ayat 2 terkait benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah “benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya”, adalah perbuatan yang tidak memenuhi syarat dari penyitaan.  

  1. Penyidik Mencatut Keterangan Ahli Bahasa ke Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Ahli IT;

Setelah dikonfirmasi oleh Kuasa Hukum Terdakwa kepada Ahli IT terkait kalimat yang ada di Berita Acara Pemeriksaan tanggal 06 Juli 2015 jawaban poin 07. Sebagian besar dari uraian jawaban saksi ahli bukanlah pernyataan dari saksi ahli IT sendiri melaikan pernyataan ahli bahasa yang catutkan kemudian dimasukkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan Ahli IT. Sehingga, seolah-olah saksi Ahli IT menyatakan kecukupan unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang pada fakta persidangan saksi Ahli IT menolak tegas pernyataan tersebut dan meminta Majelis Hakim untuk merevisi.

Pencatutan pernyataan ahli bahasa ke dalam BAP ahli IT tersebut sangat merugikan Terdakwa dan mensinyalir adanya itikad tidak baik untuk menjadikan Terdakwa menjadi pesakitan seperti saat ini.

  1. Kesimpulan dan Petitum

Majelis Hakim yang terhormat, Penuntut Umum yang kami hormati, dan Persidangan yang kami muliakan.

Oleh karena, berdasarkan fakta persidangan dan analisa hukum di atas menyatakan bahwa perkara Terdakwa Eduard Parsaulian Marpaung telah terbukti cacat prosedur dan tidak ada fakta hukum adanya tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana didakwakan dan dituntut kepada Terdakwa Eduard Parsaulian Marpaung, maka tidak ada tindak pidana yang harus dipertanggung jawabkan.

Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yakni jika dari hasil pemeriksaan di persidangan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa harus dibebaskan. Atau setidak-tidaknya sebagaimana ditentukan Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas dimana Terdakwa Eduard Parsaulian Marapaung Tidak Terbukti Secara Sah dan Meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan maka mohon dengan kerendahan hati agar kiranya Majelis Hakim yang terhormat:

  1. Menyatakan Perkara 383/Pid.Sus/2017/PN.Jaktim Cacat Prosedur Hukum dan Terdakwa Eduard Parsaulian Marpaung tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana tercantum dalam Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  2. Membebaskan Terdakwa Eduard Parsaulian Marpaung dari segala dakwaan dan tuntutan hukum atau setidak-tidaknya melepaskannya dari segala tuntutan hukum

Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon keputusan yang seadil-adilnya (Ex aequo et Bono).

Tim Advokasi Pembela Kebebasan Berekspresi

Akun LBH Pers
Author: LBH Pers

Tinggalkan Balasan