secretariat@lbhpers.org
(021) 79183485

Kajian LBH Pers Terhadap RKUHP Draft Agustus 2019

Posted by: LBH Pers
Category: Alert

KAJIAN KRITIS LBH PERS TERHADAP PASAL-PASAL YANG BERPOTENSI ANTI KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN KEMERDEKAAN PERS

PENGANTAR

Pembahasan RKUHP oleh Komisi III DPR bersama Pemerintah memasuki tahap akhir. Update terakhir perkembangan revisi RKUHP, bahwa akhir bulan September ini DPR akan mensahkan RKUHP dimana banyak sekali pasal-pasal yang tidak penting dan berpotensi mengandung kriminalisasi. Meski masa tugas telah berakhir namun permasalahan perumusan norma dalam RKUHP menurut kami kajian di LBH Pers banyak yang berpotensi kriminalisasi dan merumuskan pada pidana penjara bagi rekan- rekan jurnalis yang sedang bertugas. Berikut temuan-temuan kami yang menjadi fokus LBH Pers, yaitu delik pers dan kebebasan berekspresi.

A.     DELIK PERS

1. Penghinaan Terhadap Presiden, Wakil Presiden dan Pemerintah

Terdapat sejumlah pasal dalam RKUHP yang bertujuan melindungi nama baik pejabat publik, baik itu Presiden, Wakil Presiden dan Pemerintah yang sedang menjabat saat ini. Hal ini disebutkan dalam Pasal 219 RKUHP (update per tanggal 28 Agustus 2019) sebagai berikut :

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Selain Presiden dan Wakil Presiden, adapun penghinaan terhadp Pemerintah yang sedang menjabat saat ini, hal tersebut diatur dalam dalam Pasal 240 – 241 RKUHP sebagai berikut :

“Setiap Orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana

teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.

Jika dikaji lebih dalam lagi, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dan pemerintah merupakan pasal yang hampir mirip. Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden unsurnya adalah “setiap orang” menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, Sedangkan ancaman penghinaan presiden dan wakil presiden adalah pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda. Penghinaan terhadap Presiden dan Wapres tidak perlu dibuktikan dengan adanya akibat keonaran atau kerusuhan. Artinya, ada atau tidaknya perbuatan keonaran tersebut, delik terhadap penghinaan presiden dan wapres terpenuhi unsurnya, sedangkan untuk pemerintahan yang sah harus ada terjadinya keonaran atau kerusuhan, baru dapat dikatakan sebagai bentuk penghinaan terhadap pemerintahan yang sah.

Kata “penghinaan” bersifat kabur. Sekalipun dalam penjelasan pasal 219 dijelaskan bahwa pasal ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda dengan yang dianut oleh Presiden atau Wakil Presiden. Dengan demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara ekspresi “penghinaan” atau yang lain seperti kritik, parodi atau kelakar biasa.

Tujuan pembatasan ini adalah melindungi nama baik pejabat publik. Kepentingan ini tidak sah karena pejabat publik justru harus memiliki toleransi lebih besar terhadap kritik karena telah bersedia mengemban fungsi publik dalam konteks demokrasi dan telah menyadari dirinya berada dalam pengawasan publik. Singkatnya, pejabat publik seharusnya memiliki toleransi lebih besar, bukannya lebih kecil, terhadap kritik.

Patut diketahui bahwa rumusan norma kedua pasal tersbeut telah diatur terlebih dahulu dalam Pasal 134 dan 137 KUHP. Namun Pasal 134 dan 137 tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan bahwa, Pertama, Martabat Presiden dan Wapres berhak dihormati secara protokoler namun keduanya tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Presiden dan Wapres tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat. Kedua, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wapres. Ketiga, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalui digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. MK secara tegas juga menyatakan pasal tersebut secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD 1945.

Dengan pertimbangan MK diatas telah secara jelas bahwa norma delik penghinaan terhadap Presiden dan Wapres inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Jika merujuk pada frasa “penghinaan” pada Pasal 219 RKUHP juga tidak dijelaskan secara spesifik dan rinci perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan. Hal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat khususnya aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal tersebut. Jika kedua pasal tersebut tetap dirumuskan maka dapat berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap bentuk kritik dan penyampaian pendapat yang ditujukan kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan tetap dipertahankannya rumusan delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP secara jelas merupakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi dan Putusan MK yang final dan berkekuatan hukum tetap.

2. Berita Bohong, Berita Yang Tak Pasti

Menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dibatasi dalam pasal 262 RKUHP, termasuk apabila hal tersebut patut diduga bohong. Sedangkan pasal 263, berita yang tidak pasti, berlebihan atau tidak lengkap juga dibatasi, termasuk apabila hal tersebut patut diduga dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat.

Jelas bahwa pasal-pasal di sini sangat merugikan kerja jurnalistik dalam penulisan berita.2 Untuk menimbang hal ini, marilah kita ambil contoh pemberitaan media seputar kasus korupsi di tubuh Komisi Pemilhan Umum (KPU). Kasus ini secara terang benderang memperlihatkan bahwa pernyataan sejumlah narasumber dapat berubah-ubah dari hari ke hari. Seorang narasumber bisa mengeluarkan penyataan A di hari pertama dan mengeluarkan penyataan B di hari berikutnya. Pembatasan pada pasal-pasal tersebut bisa menyebabkan jurnalis yang memberitakan pernyataan A dinilai “menyiarkan berita bohong.” Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (European Court of Human Rights) menyebutkan bahwa berita adalah komoditas yang bisa musnah (perishable) dan menunda penerbitan, bahkan dalam waktu singkat bisa mengurangi nilai dan kepentingan

dari berita tersebut.3 Pentingnya peran pers mendapatkan penegasan dari Mahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Court of Human Rights) yang menyebut bahwa media massalah yang membuat pelaksanaan kebebasan berekspresi menjadi kenyataan karena pers punya tugas untuk menyebarluaskan informasi dan gagasan yang terkait dengan kepentingan publik, dan publik pun punya hak untuk menerimta informasi dan gagasan tersebut. Apabila hal ini tidak dijamin, maka pers tidak bisa memainkan peran sebagai “anjing penjaga.”4 Sementara Mahkamah Agung Jepang juga menyebut bahwa laporan yang dibuat oleh media tentang politik memberikan informasi yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk membuat keputusan politik dan melayani hak masyarakat untuk menerima informasi.5 Terlebih lagi, di Indonesia sendiri untuk soal pemberitaan, terdapat mekanisme lewat UU Pers No 49 tahun 1999 juga melalui Dewan Pers dapat ditempuh.

Pembatasan ini tidak ditetapkan dengan jelas karena sejumlah kata-kata yang digunakan “berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat” dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Makna yang kabur juga terlibat pada penggunaan kata- kata seperti “berita yang berlebihan.

3. Penghinaan Terhadap Pengadilan

RUU KUHP memuat pasal yang membatasi ekspresi yang dapat mempengaruhi hakim dalam sidang pengadilan, yaitu dalam pasal 281. Dengan demikian, ekspresi yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak dari si hakim pun dibatasi. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa pembatasan tersebut bertujuan untuk melindungi peradilan atau proses sidang pengadilan terhadap perbuatan yang merusak kenetralan pengadilan.

Untuk menimbang pasal ini, mari kita kaji kasus berikut. Di Inggris sebuah harian Sunday Times menerbitkan sebuah artikel yang mengkritisi pengujian dan pemasaran thalidomide, sejenis obat yang telah menyebabkan cacat fisik pada anak-anak yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi obat tersebut ketika hamil. Harian tersebut diperintahkan untuk menghentikan penerbitan artikel tersebut untuk memelihara integritas proses pengadilan karena di saat yang sama pihak-pihak yang terkait tengah melakukan negosiasi, yang dapat terpengaruh oleh artikel tersebut. Kasus ini kemudian diajukan ke Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (European Court of Human Rights).

Oleh Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (European Court of Human Rights), pembatasan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi karena bencana thalidomide jelas-jelas termasuk kepentingan publik. Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (European Court of Human Rights) kemudian memutuskan bahwa pengadilan tidak dapat berlangsung dalam ruang hampa. Penyelesaian kasus yang tengah berjalan di pengadilan tidak dapat dijadikan alasan untuk meniadakan diskusi tentang persoalan tersebut.

Pasal ini sangat bersinggungan dan berpotensi melanggar kebebasan berpendapat, hak atas informasi dan kemerdekaan Pers jika tidak diatur secara jelas. Dalam pasal ini seolah-olah ingin menyatakan Hakim yang memihak ke salah satu pihak karena dipengaruhi oleh masyarakat atau media atau menyalahkan masyarakat yang mencoba kritis. Padahal jauh lebih dari itu sejatinya, hakim dan pengadilan justru harus mampu menerapakan prinsip independensi yang tidak bisa dipengaruhi oleh hal apapun.

Jika kita merujuk pada undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dalam pertimbanganya menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Lebih spesifiknya lagi Pasal 4 yang menyatakan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pasal 281 RKUHP tersebut tidak secara jelas menyebutkan apakah pers masuk ke dalamnya ataukah ada pengecualian untuk pers. Sehingga jika Pasal ini tetap disahkan, maka tidak bisa dihindarkan lagi tentang adanya tumpang tindih hukum bahkan kriminalisasi terhadap insan pers.

Kondisi ini sangat rentan disalahgunakan karena pasal-pasal yang ada dalam CoC sangat berpotensi melanggar kemerdekaan pers dan hak asasi manusia. Misalnya saja larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Tidak ada ukuran yang jelas dan indikator bagaimana hakim bisa terpengaruhi dengan publikasi yang dimaksud, pun begitu sesungguhnya sudah ada pranata dewan pers yang bisa mengadili masalah pers sehingga tidak perlu ada hukum pidana.

Pembatasan dalam pasal ini kabur karena kata-kata “yang … merusak kenetralan pengadilan” dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Pembatasan ini bertujuan untuk memastikan agar pengadilan bersikap netral. Kepentingan ini terkait juga dengan hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) yang merupakan salah satu hak asasi manusia. Akan tetapi pembatasan ini terlalu kabur untuk melindungi kepentingan tersebut. Pembatasan ini tidak benar-benar dibutuhkan karena dapat merugikan kebebasan berekspresi. Dengan adanya pembatasan seperti ini, pers tidak dapat melangsungkan investigasi atau memberitakan artikel tentang kasus-kasus yang tengah diproses di pengadilan. Hal seperti ini justru bisa melanggar hak publik untuk tahu.

4. Penghinaan Terhadap Agama, Terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara

RKUHP memuat sejumlah pasal tindak pidana terhadap agama. Pasal 304 menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Penyebarluasan penghinaan tersebut diatur dalam pasal 305 dimana setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi tindak pidana. Sementara pasal 306 membatasi penghasutan yang meniadakan keyakinan terhadap agama.

Penjelasan pasal-pasal tersebut mengungkapkan bahwa pembatasan ini selaras dengan sila pertama Pancasila dan sendi utama hidup bermasyarakat di Indonesia. Penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dinilai tidak menghormati dan menyinggung perasaan keagamaan dalam masyarakat.

Untuk penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (pasal 353), seseorang dapat dipenjara paling lama satu tahun enam bulan. Sedangkan yang menyebarluaskan, bisa masuk penjara selama tujuh tahun atau dicabut hak untuk menjalankan profesinya (pasal 354).

Untuk menimbang kasus tersebut, mari kita kaji kasus berikut. Sebuah serial berjudul Tamal ditayangkan di televisi India yang menggambarkan ketegangan komunitas dan kekerasan antara umat Muslim dan Hindu dan antara umat Muslim dan Sikh di daerah Lahore. Program ini sendiri lolos uji Dewan Sensor Film (Central Board of Film Censors). Seorang warga mengajukan kasus ini ke pengadilan untuk mencegah tayangan serial ini dengan alasan, antara lain, memancing kekerasan dan memicu rasa benci antar umat agama yang berbeda. Untuk kasus ini, Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut karena tayangan ini sebelumnya sudah lolos Dewan Sensor Film dan serial ini sepenuhnya mengambil sudut pandang seorang manusia biasa sehingga dapat “menciptakan kesan mendalam tentang perdamaian dan kebersamaan.”7

Pembatasan ini bersifat kabur karena tidak ada perbedaan yang tegas antara ekspresi menghina dan ekspresi yang lain, misalnya fiksi, humor, parodi maupun kajian ilmiah lintas agama. Tersirat dalam penjelasan pasal 353 bahwa pasal-pasal ini bertujuan melindungi moral masyarakat. Hal ini sesuai dengan pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik ayat 3. Pemberian pidana penjara antara dua hingga tujuh tahun bahkan pencabutan hak untuk menjalankan profesinya merupakan pembatasan yang tidak benar-benar diperlukan untuk melindungi kepentingan tersebut.

5. Pencemaran Nama Baik, Orang Yang Telah Mati

Pembatasan-pembatasan yang diberikan untuk melindungi reputasi dalam RUU KUHP amat tidak jelas bahkan membingungkan! Pencemaran dan fitnah sama-sama didefinisikan sebagai ekspresi yang menyerang kehormatan. Yang membedakan antara keduanya adalah pembuktian kebenaran. Akan tetapi pembuktian kebenaran tersebut hanya bisa dilakukan apabila hakim memandang perlu atau apabila yang jadi sasaran adalah pegawai negeri.

Katakanlah seseorang menuduh seorang peternak lele (yang adalah non pegawai negeri) sehingga nama baiknya dirugikan. Apakah ini pencemaran atau fitnah? Apabila hakim memandang perlu dibuktikan kebenarannya, dan tuduhan itu tidak terbukti, maka ekspresi tersebut adalah fitnah. Apabila hakim tidak memandang perlu adanya pembuktian, dengan demikian tuduhan tersebut tidak bisa dibuktikan kebenarannya dan karena ekspresi tersebut bersifat menyerang kehormatan atas nama baik, maka ekspresi tersebut adalah pencemaran. Padahal hukuman maksimal pencemaran paling lama adalah penjara selama satu tahun, sementara hukuman maksimal untuk fitnah paling lama adalah lima tahun.

Dengan demikian, daripada berusah-payah membuktikan kebenaran tuduhannya (dan apabila gagal diganjar maksimal penjara lima tahun), seseorang akan lebih baik memilih untuk sama sekali tidak berusaha (dengan maksimal hukuman mendekam di bui selama satu tahun)! Artinya upaya pembuktian justru mengundang resiko.8 Di sisi lain, pasal-pasal ini tidak memberikan panduan yang jelas kepada hakim untuk menentukan apakah ekspresi tersebut pencemaran atau fitnah.

Kekaburan definisi ditambah lagi dengan soal penghinaan ringan (pasal 443), yang didefinisikan sebagai ekspresi dengan mengeluarkan kata-kata tidak senonoh. Bagaimana membedakan antara “kata-kata yang tidak senonoh” dengan “serangan terhadap kehormatan”? Apabila seseorang disamaratakan dengan binatang, apakah itu penghinaan ringan atau pencemaran (yang jelas bukan fitnah, karena tak sukar membuktikan bahwa seseorang itu bukan binatang)? Tambahan lagi, penghinaan ringan bisa saja dilakukan secara tulisan, dengan resiko penjara satu tahun. Sementara pencemaran, yang juga bisa dilakukan secara tertulis bisa membawa hukuman penjara maksimal dua tahun.

Katakanlah seorang peternak lele dirugikan nama baiknya oleh dua orang, A dan A mengamuk dan menyamaratakan peternak lele tersebut dengan, katakanlah, seekor lele (kata-kata yang “tidak senonoh”) (penghinaan ringan). Sedangkan B dengan sikap sopan mengatakan bahwa berdasarkan observasi dalam kurun waktu tertentu, lele yang dibesarkan oleh si peternak kalah jauh kualitasnya dengan peternak lele lain (serangan terhadap nama baik) (pencemaran). Dalam kasus ini, B justru bisa mendekam selama dua tahun sedangkan A cukup satu tahun saja. Pasal-pasal ini lagi-lagi tidak memberikan panduan yang jelas kepada hakim untuk menentukan apakah ekspresi tersebut pencemaran atau penghinaan ringan.

Pasal 542 menyatakan bahwa apabila hakim menentukan bahwa yang dihina benar bersalah atas hal yang dituduhkan, maka pembuat tuduhan tidak dapat dipidana karena fitnah. Namun pembuat tuduhan tersebut bisa jadi tidak lolos dari jerat lain, yaitu pasal 540 (pencemaran) apabila pernyataan yang benar tersebut dinilai sebagai menyerang kehormatan atau nama baik orang tersebut atau pasal 443 (penghinaan ringan) apabila kata-kata yang digunakan dianggap “tidak senonoh.”

Jadi apabila A menuduh seorang peternak lele korupsi dan tuduhan tersebut terbukti benar, A bisa tetap masuk penjara atas kebenaran pernyataannya karena si peternak lele merasa nama baiknya diserang atau karena menganggap kata “korupsi” tidak senonoh. Kesimpulannya, pernyataan yang benar pun bisa membawa seseorang masuk penjara.10

6. Pembukaan Rahasia Jabatan

Pasal mengenai pembukaan rahasia jabatan ini masih dipertahankan dalam RKUHP saat ini. Sebelumnya di KUHP diatur dalam Pasal 322 KUHP, yaitu dilarang membuka rahasia jabatan bagi pejabat yang menyangkut tugas dalam suatu jabatan Badan publik atau tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang- Undangan kepada orang yang tidak berkepentingan.

Rahasia jabatan menurut KBBI merupakan sesuatu yang berkenaan dengan jabatan dan tidak boleh diketahui umum. Merujuk pada UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Infrormasi Publik (UU KIP), yang dimaksud dengan “rahasia jabatan” adalah rahasia yang menyangkut tugas dalam suatu jabatan Badan Publik atau tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan merupakan salah satu bentuk informasi publik yang tidak dapat diberikan pada pubik. RKUHP saat ini masih mempertahankan pasal ini, hal ini dijelaskan dalam Pasal 450 dan 451, Setiap Orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan, profesi, atau tugas yang diberikan oleh instansi pemerintah baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu. Selain yang telah disebutkan, setiap orang yang memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan tempatnya bekerja atau pernah bekerja yang harus dirahasiakannya juga dikenai pidana.

Frasa setiap orang disini juga dimaksudkan untuk siapapun yang melakukan perbuatan ini, dan hal ini juga termasuk kepada wartawan yang sedang melakukan investigasi terhadap seseorang pejabat, lembaga, maupun perusahaan. Misalnya, wartawan yang melakukan investigasi harta kekayaan pejabat publik maupun perusahaan. Ketika wartawan mempublikasikan rahasia jabatan, yang saat ini memang belum jelas apa itu rahasia jabatan yang ada di RKUHP, wartawan bisa kena pasal ini. Ancaman pidana iu tidak hanya berpotensi membungkam kebebasan berekspresi, ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers.

Kerja yang dilakukan oleh wartawan salah satunya adalah melakukan investigasi, biasanya wartawan yang membuka rahasia jabatan atas harta kekayaan yang dimiliki oleh seorang pejabat. Investigasi yang dilakukan oleh wartawan ini sekaligus menjadi whistel blower (peniup peluit) yang ingin membantu untuk mengungkapkan korupsi di lembaga, tetapi sekaligus juga rentan akan dikriminalisasi. Wartawan bisa jadi kenai pidana membuka rahasia jabatan atas harta kekayaannya, bisa jadi dikenai tindak pidana berita bohong atau yang tidak pasti, padahal wartawan sudah melakukan kode etik jurnalistik dan melakukan investigasi itu sudah dilindungi oleh kode etik.

PASAL-PASAL RKUHP YANG BERPOTENSI MENJERAT JURNALIS (UPDATE PER TANGGAL 28 AGUSTUS 2019)

OLEH TIM LBH PERS

Akun LBH Pers
Author: LBH Pers

Tinggalkan Balasan