secretariat@lbhpers.org
(021) 79183485

Kebebasan Sipil dan Politik Hukum di Era Pemanipulasian

Posted by: LBH Pers
Category: Artikel, Kebebasan Berekspresi, Kebebasan Pers, Opini, Tak Berkategori
Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Dr. Herlambang P. Wiratraman. (Foto: Unair)
Oleh: Herlambang P. Wiratraman[1]

Sudah cukup banyak studi, menjelaskan bahwa merosotnya kebebasan sipil berseiring dengan melemahnya atau merosotnya kualitas demokrasi[2]. Fenomena kemunduran demokrasi itu sendiri, bahkan dalam konteks Indonesia memiliki kecenderungan pada kekuasaan yang kian otoriter. Pemanfaatan instrumen kekuasaan negara, dengan cara cara kekerasan, intimidatif dan bahkan tanpa pertanggungjawaban. Narasi, isu, dan kemasan represinya, beragam dan kian kompleks dengan upaya menyembunyikan kuasa kepentingan dibaliknya.

Mari kita simak sejumlah kasus kasus hukumnya.

Budi Budiawan, alias ‘Budi Pego’. Seorang TKI yang belasan tahun tinggal di Arab Saudi, pulang ke kampung halamannya, terkejut menyaksikan tanah, pegunungan, sawah, terdampak oleh lalu lalang pertimbangan emas di Tumpang Pitu Banyuwangi. Tentu, ia tak terima dengan kenyataan perusakan lingkungan itu. Gunung Tumpang Pitu, benteng alam, penyelamat warga di saat tsunami melanda Banyuwangi di tahun 1994, usai gempa di selatan Jawa 7.4 skala richter. Ekspresi penolakan dan protes Budi Pego bersama teman temannya pada 2017, berujung pada kriminalisasi. Dihukum dengan tuduhan, propaganda komunisme. Putusan Mahkamah Agung menjatuhkan putusan 4 tahun penjara (2018). 24 Maret 2023 lalu, ia disergap aparat kepolisian di tengah ladang bertaninya, ditahan, dibawa ke LP Banyuwangi. Sementara, ekspansi tambang emas jalan terus, dan kini hendak menyasar benteng alam tetangganya, kawasan Gunung Salakan.

Dalam konteks Banyuwangi, tak hanya dikenal dengan eksotisme wisata yang ikonik sunrise of Java, tetapi kisah represi terhadap petani bukanlah hal baru nan mengejutkan. Seakan bergiliran, dari sejak jaman jatuhnya Soeharto hingga dua dekade berselang, terus menerus gelombang penangkapan, penahanan, penyerangan, penyiksaan, dan bahkan penembakan. Di Wongsorejo, Karangbangkalan, dan yang terakhir adalah kasus Pakel, dimana sidang pemidanaan terhadap tiga petaninya masih berlangsung hingga saat ini karena terkait konflik agraria. Tuduhannya sama, disematkan narasi bangkitnya komunisme, sehingga sidang yang memenjarakan petani pun dipenuhi aksi massa menekan peradilan memenjarakan mereka yang menyuarakan dan mempertahankan hak asasinya, hak tanah dan hak untuk bekerja secara layak.

Ekspresi kritis yang dibungkam dengan stigma propaganda komunisme, rupanya bertemali dengan serangkaian operasi yang bekerja di berbagai daerah, menyasar ke kampus, pembredelan buku, pembubaran diskusi, dan bahkan lapak lapak penjual buku berikut penerbitnya pun tak luput dari sasaran serangan narasi tersebut. Ubud Writers pun tak luput dari sasaran dengan narasi itu, sehingga terjadi pemaksaan untuk pembatalan acara (Oktober 2015). Dihitung dari jumlah kasus yang muncul, terjadi ramai sejak 2015, momentum 50 tahun paska 1965. Apa artinya? ‘Di kampung ataupun di kampus’, bekerjanya narasi dan stigma itu terus berlangsung.

Bekerjanya politik hukum represif membungkam kebebasan sipil memperlihatkan bahwa cara stigmatisasi turut andil dalam mengemas ‘proseduralisme penegakan hukum’.

Contoh lain, membaca kekerasan dan keberulangan represi di Papua.

Di Agustus 2019, di Asrama Papua yang selama ini menjadi tempat mahasiswa Papua menimba ilmu pendidikan tinggi di berbagai kampus, mengalami sejumlah aksi pengepungan dan rasialisme. Berlanjut hingga teror terhadap penghuni asrama terjadi lagi pada Senin, 9 September 2019 pagi. Mahasiswa dalam asrama dikejutkan aksi pelemparan sejumlah ular ke dalam asrama. Peristiwa yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya sebenarnya hanya salah satu, memperlihatkan keberulangan, dan menjadi siklus aksi rasisme. Tuduhan perusakan bendera merah putih tak terbukti. Namun, peristiwa itu memantik protes massal. Di Jayapura, Manokwari dan Sorong, lautan manusia berdemo jalan kaki dan tumpah ruang di jalanan. Begitu juga di beragam ekspresi politik dan dukungan di berbagai daerah. Gelombang penangkapan terhadap warga dan mahasiswa Papua, atau solidaritas, terjadi. Sepanjang 2019-2020 saja, terdapat 120 aktivis dan warga sipil Papua yang dipenjara atas tuduhan makar. Dari dokumen yang diperoleh Tempo, 109 tahanan politik belum diketahui nasibnya[3].

Pendekatan pemidanaan, justru lahirkan represifitas yang kuat memperlihatkan diskriminasi dan motivasi rasismenya. Hal ini terhubung dengan pendekatan keamanan yang terus menerus mendominasi cara pandang kekuasaan atas upaya penyelesaian kasus Papua, bukan dengan dialog apalagi penuntasan kasus-kasus impunitas atas pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Padahal, ekspresi politik adalah kebebasan yang dijamin dalam sistem hukum hak asasi manusia. Tudingan makar, pemidanaan, justru menjauh dari pemanfaatan ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017 yang menyatakan banyak fakta penegakan hukum salah menerapkan unsur “makar”, yang tak cukup dilandaskan unsur niat, namun ada elemen serangan (aanslag).

Rupanya Papua tak sendiri. Stigmatisasi dengan penggunaan instrumentasi pasal makar pun kini menyasar ke Aceh. Dua anak muda mengekspresikan protes atas kebijakan yang tak kunjung memberi keadilan sosial bagi warga Aceh, sehingga ekspresi itu berujung pada pemidanaan, sebagaimana terjadi dalam persidangan Perkara Tindak Pidana Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Pengadilan Negeri Sigli dengan Terdakwa Nasruddin Alias Din Bin A. Wahab dan Zulkifli Alias Rafli[4].

Tak banyak media mengangkat peristiwa tersebut sebagai problem dasar kebebasan sipil. Kebebasan pers di Papua, lemah atau berada dalam titik terendah karena tak memiliki proteksi kuat dalam memberitakan situasi dan kritik kebijakannya. Saat peristiwa rasisme, Organisasi Reporters Without Borders (RSF) menempatkan status kebebasan pers Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara (2019). Status “Bebas Sebagian” bagi Indonesia tidak terlepas dari sulitnya jurnalis asing mendapat akses peliputan di Papua[5].

Pun bila media mengangkat peristiwa unjuk rasa, seperti yang terjadi di Papua, pemerintah justru menggunakan cara pemadaman dan pelambatan akses internet (internet blackout, shutdown, throttling), sehingga berdampak luas terhadap warga negara, bisnis dan pula layanan publik. Beruntung, 3 Juni 2020, tiga perempuan majelis hakim PTUN Jakarta memutuskan bahwa tindakan internet shutdown tersebut adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan[6]. Sekalipun demikian, tak berarti mengubah situasi lebih baik, terkait tata kelola digitalnya. Kecenderungan pemburukan kian nyata terjadi (menuju otoritarianisme digital)[7]. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa situasi kebebasan digital di Indonesia 2022, lebih buruk ketimbang tahun 2021 yang sudah masuk kategori ‘siaga 2’. Kebebasan digital di Indonesia tinggal separuh jalan dari tingkat siaga menuju ‘awas’, yang berarti Indonesia terus melangkah menuju otoritarianisme digital jika tak ada perbaikan signifikan yang dilakukan[8].

Tantangannya, represi media kini tak sebatas pembungkaman, melainkan serangan dengan cara manipulasi, kontra narasi, menghambat hingga mendangkalkan informasi. Pula, tak sebatas penggunaan hukum, melainkan sistematik dan terencana menggunakan buzzers, eksesif penggunaan wewenang kepolisian, bahkan aktor-aktor kunci di pemerintahan itu sendiri yang denial/menyangkal. Peretasan data pribadi, beberapa kali masif terjadi. IndonesiaLeaks menemukan sejumlah informasi yang membuktikan Pegasus, alat mata-mata dari Israel, sudah digunakan pemerintah Indonesia sejak 2018 untuk kepentingan politik, terutama saat proses penyelenggaraan Pemilu 2019. Selama kurun 2018-2021, dugaan penyalahgunaan alat sadap Pegasus digunakan oleh otoritas sejumlah negara untuk memata-matai politisi, aktivis dan jurnalis.

Dampaknya begitu besar. Terjadi mis ataupun disinformasi yang membahayakan nyawa warga, melanggar hak-hak dan kebebasan dasar warga, termasuk hak atas informasi publik. Publik merasakan situasi mencekam tatkala menghadapi pandemic Covid 19, kematian demi kematian seakan dianggap menjadi situasi yang biasa atau kelaziman. Sementara kritik maupun upaya mengekspresikan protes justru dilarang, dibatasi, dan mendapati kekerasan yang berujung pada kematian dan pemenjaraan. Pelarangan dan pembatasan itu, bukan saja dari institusi keamanan dan penegakan hukum, melainkan pula dari institusi pendidikan tinggi karena tekanan dari Menristekdikti. Kementerian merilis surat bernomor 1035/E/KM/2020 yang menginstruksikan para rektor mengimbau mahasiswa tidak mengikuti unjuk rasa. Tekanan demikian, secara structural, hanyalah salah satu dari sekian upaya pembungkaman kebebasan sipil, atau dalam konteks itu sebagai kebebasan akademik.

Sementara, di tengah pandemi, negara justru melahirkan kebijakan dan pengesahan peraturan perundang undangan yang bukan semata mengabaikan partisipasi publik, melainkan pula secara substantif mengonsolidasikan kepentingan kekuasaan oligarki. Revisi UU KPK 2019, terbitnya UU Minerba, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, menjadi penanda laju kepentingan legislasi yang kuat menopang kepentingan itu. Pembentukan hukum yang nir partisipasi, ugal ugalan, dan merefleksikan substansi ‘illegality’, mendekati apa yang dimaknakan sebagai ‘autocratic legalism’ (legalisme otokratis) dalam pandangan Corrales (2015). Hal ini dimungkinkan terjadi karena tiadanya kekuatan oposisi, pelumpuhan kebebasan sipil, sehingga partisipasi politik kewargaan melemah. Akibatnya, dan berbahayanya, situasi demikian membawa implikasi ‘pesta represi’ ala Agamben. Pesta represi ini membentang, mulai dari cara kasar penahanan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing (2020) hingga pemanfaatan rezim hukum administrasi untuk melegalkan penguasaan tambang maupun eksploitasi eksesif sumberdaya alam, sebagai terjadi di berbagai daerah.

Hukum yang tiada, menjadi pembenar atau pelegitimasi (legalizing lawlessness) untuk membungkam kritik, sekaligus membentuk kebijakan yang justru anti demokrasi sosial ekonomi (Humphreys 2006). Produksi hukum (aturan) dan bekerjanya pun dirayakan sebagai selebrasi manipulatif yang menempatkan gagasan penciptaan diskursus yang sesungguhnya memistifikasi, sekaligus mensubordinasi hak-hak dasar warga negara.

Partisipasi dalam konteks otokrasi, secara bentuk tidak pernah mencapai pada level kontrol kekuasaan warga, dengan mengedepankan upaya tranformatif dan representatif. Partisipasi dalam otokrasi lebih merupakan alat (instrumental) yang levelnya sebatas konsultasi, peredaman, perbincangan untuk didengarsebagai upaya meredam amarah publik,sosialisasi atau penginformasian, dan bahkan, dalam beberapa hal tertentu, sesungguhnya pembohongan publik, atau manipulasi. Apa maknanya? Bila kita merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII Tahun 2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, apakah elemen partisipasi bermakna cukup memberikan elemen perlindungan bagi partisipasi politik kewargaannya? Bukankah kini mendapati narasi atau diskursus ‘urgensi’, yang menyebabkan tindak lanjut putusan MK dengan menerbitkan Peraturan Perundang undangan Pengganti Undang Undang? Situasi ini, kini dikhawatirkan (atau mungkin sudah) mendapati situasi jamak di berbagai negara, sebagai situasi manipulatif (Sunstein 2021), atau pengkaji hukum tata negara Dian AH Shah menyebut ‘pervasive political rhetoric among the ruling elite’. Pengabaian nilai penting persoalan formal perundang-undangan dengan mengajurkan jalan terus investasi dan jaminan bagi investor, terjadi dan mengingkari Putusan MK itu sendiri.

Sungguh bukan fenomena mengejutkan. Rahnema dan Bawtree (1997: 155) mengingatkan bahwa partisipasi secara luas dianggap sebagai inheren ‘baik’ dan berkomitmen untuk pencapaian tujuan yang diinginkan dan moral – jarang terlintas dalam pikiran bahwa penerapannya ‘mungkin berlaku untuk tujuan jahat’. Begitu juga, dalam gagasan dan prakteknya, partisipasi dapat dengan mudah dikooptasi atas nama kepentingan dan niat yang berbeda karena fleksibilitas konseptual dan kelemahan teoritisnya (Cornwall 2000; Hickey & Mohan 2005). Partisipasi merupakan kunci dalam memberdayakan warga dalam kehidupan sosial-politiknya, tak terkecuali ketika berurusan dengan kebijakan tertentu dalam pemerintahan. Partisipasi publik, oleh sebabnya, terhubung dengan akses informasi yang sekaligus kebebasan ekspresinya dalam mengembangkan ruang kewargaan demokratik (Blasi 2011).

Pada akhirnya, kita perlu menyimak, mengapa posisi Indonesia berada dalam situasi demikian hari ini? Dan kemana arah jaminan politik hukum kebebasan sipil di masa mendatang?

Era Pemanipulasian dan Palang Pintunya

Ada sejumlah palang pintu, yang bisa diperkirakan menjadi mendasar terjadi dalam konteks Indonesia hari ini. Dengan memahaminya, diharapkan lebih menempatkan kesadaran politik yang mendekatkan pada hal mendasar nan strategis mengubah situasinya.

Pertama, impunitas. Hukum dan bekerjanya mekanisme hukum peradilan dan birokrasi politik penegakannya, selama ini tak lebih mengawetkan politik impunitas dalam kelembagaan negara. Kasus Munir, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, adalah contoh penjelas realitas ini. Betapa sistematiknya kekuasaan menebalkan kuasa negara, tanpa pernah ada komitmen politik menuntaskannya. Negara bukan saja absen, melainkan mengencangkan rantai impunitasnya, dengan kebijakan, mengijinkan pelaku mendapatkan jabatan strategis, dan bahkan membiarkan retaliasi terhadap korban dan keluarga korban.

Kedua, demokrasi yang melemah. Penanda ini mudah dikenali dari bagaimana ruang kebebasan sipil yang dilemahkan dan bahkan dibajak. Ekspresi politik begitu mudah dibungkam, dikriminalisasi, dan tak jarang dipersekusi dengan kuasa digital. Kriminalisasi kritik sebagaimana terjadi dalam kasus Haris dan Fathia, adalah contoh pembungkaman atas kritik publik. Belum lagi, tekanan terhadap kebebasan akademik, menguatnya cyber troops (pasukan siber) menyerang mereka yang kritis, dan kekerasan terhadap jurnalis.

Ketiga, sistem kuasa oligarki yang melekat dalam sistem ketatanegaraan. Sejumlah perundang-undangan yang dibuat, kerapkali nir partisipasi, dibuat serampangan, dan ditujukan untuk kepentingan politik kekuasaan yang menopang sistem oligarki. Sejumlah perundangundangan bermasalah, sekalipun mendapat tentangan publik, pengesahannya tak mengenal ‘rem’, alias jalan terus. Inilah yang disebut sebagai otokratisme legislasi, terhubungan dengan kartelisasi dalam politik perundangan. Bagaimana dengan peradilan? Dengan merujuk pada sejumlah kasus kebebasan ekspresi, pembela HAM, dan penyerangan terhadap aktifis anti korupsi, peradilan justru memperlihatkan kian kuat menopang kepentingan kekuasaan. Meminjam pandangan Ginsburg dan Moustafa (2008), pelemahan institusi peradilan kian mendekati dengan apa yang disebut sebagai ‘judicialisation of authoritarian politics’, atau yudisialisasi politik otoriter (Wiratraman, 2022).

Keempat, politik manipulasi. Kian jamak, apa yang dimaknakan oleh pakar hukum tata negara, Cass R. Sunstein (2021) soal menguatnya pembohongan di era manipulasi, akibat politik dominan yang mengendalikan media digital. Pembohongan demikian, kerap mengalihkan kesemrawutan dalam mengelola negara, mengambinghitamkan kesalahan, dan menormalisasi kesewenang-wenangan. Lemahnya perlindungan warga dan tenaga kesehatan saat pandemi Covid, adalah fakta menyedihkan.

Sedangkan palang pintu terakhir, kelima, masifnya korupsi dan penjarahan sumberdaya alam. Korupsi masih saja terus terjadi, tak berubah situasinya ada maupun tak ada KPK. Sementara penjarahan sumberdaya alam kian tak terkendali akibat politik perijinan administrasi yang meliberalkan dan memudahkan tanpa menghitung dampak sosial dan ekologis. Terlalu banyak kisah deforestasi di Kalimantan dan Sumatera, baik akibat ekspansi tambang batu bara maupun perkebunan kelapa sawit, mengorbankan warga negara terutama masyarakat adat. Sebaliknya, upaya mencegah korupsi dan eksploitasi sumberdaya alam, justru memperlihatkan resiko tinggi serangan, seperti kasus Novel Baswedan, tak terkecuali penyingkiran puluhan pegawai KPK.

Kelima palang pintu demikian, tidak terlepas dengan sistem politik Indonesia, yang menangguk keuntungan representasi formal ketatanegaraan. Ia membentuk kultur dan bahkan struktur kuasa dan relasi barunya, yakni ‘embedded oligarch politics’ (politik oligarki yang melekat), sehingga kartelisasi dalam sistem politiknya, termasuk dalam sistem Pemilu, berulang dan mengonsolidasi secara lebih rapi nan kuat (cartelized political system). Kartelisasi demikian tak sekadar pengabsah keterwakilan politik, melainkan pula instrumen politik yang digunakan untuk melegitimasi relasi kekuasaan oligarkis (Winters 2011, 2014). Hukum, dalam konteks ini, mewujud jadi hegemonik kepentingan rezim, sehingga kritik terhadapnya berhadapan dengan tekanan politik dan kekerasan.

Tidak terlampau mengejutkan, begitu banyak realitas legalised violation of human rights, hukum menjadi alat untuk melegitimasi penindasan, baik hak-hak ekonomi, sosial dan budaya maupun hak-hak sipil dan politik. Dengan demikian, akar masalah kebebasan sipil di Indonesia terhubung kuat dengan sejauh mana pengaruh sistem politik kartel, yang memberi jalan bagi politik oligarki yang melekat. Di titik ini, sistematik menghilangkan keadaban politik, nir visi etis, dan sekaligus tak canggung menggadaikan integritas.

Namun, bagaimana ragam anomali yang terjadi tersebut tak menjadi pembelajaran dalam upaya mengubah situasi?

Pemikir hukum tata negara dan hukum administrasi dari Universitas Harvard, Cass R. Sustein dalam buku, ‘Liars: Falsehoods and Free Speech in an Age of Deception’ (2021), menegaskan strategi pembohongan menjadi lazim terjadi di era sekarang. Riset panjang ilmuwan yang dihasilkan dari proses uji laboratorium akan dengan mudah tunduk dan kalah dengan kepalsuan informasi yang dikendalikan kuasa informasi digital. dalam konteks Indonesia, penanganan pandemi Covid-19 dirancu dengan disinformasi, membenarkan mega-proyek kekuasaan atas pembangunan masif infrastruktur, melegitimasi penundaan pemilu maupun perpanjangan kekuasaan, dan bahkan menghancurkan reputasi untuk kepentingan politik partisan. Serangan-serangan sistematik terhadap ilmuwan terjadi melalui peretasan, doxing, persekusi, dan intimidasi-intimidasi. Serangan digital terhadap para akademisi yang mengkritisi penanganan pandemi Covid-19, atau kritik dan protes meluas terhadap pembentukan UU, adalah sederet contoh yang terus marak terjadi (Kompas, 14 April 2021).

Tantangan perlindungan kebebasan sipil, justru menjangkarkan pada situasi yang barangkali tak terbayangkan sebelumnya, yakni menyuburkan taman manipulatif. Bukan semata soal politik anti sains yang menampilkan segala paradoksal kebijakan-kebijakannya, melainkan dibiarkan tumbuh dalam taman transformasi digital di Indonesia yang masih banal dan dipenuhi kekerasan siber, tanpa pertanggungjawaban. Represi atas kritik kebenaran, bisa jadi bukan lagi dilakukan dengan membungkam aktifis pembela HAM, ilmuwan, atau mengkooptasi kampus, melainkan dengan mendangkalkan informasi dan memanipulasikannya dalam perangkap politik kepentingan kekuasaan.

Artikel ini disampaikan penulis pada Paparan kunci Konferensi Nasional Kebebasan Sipil, Jakarta, 26 Juli 2023, diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Catatan Kaki

[1] Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

[2] Sejumlah artikel ilmiah menyebut sebagai situasi ‘defective democracy’ (Mietzner 2016), ‘democratic setbacks’ (Hadiz 2017), ‘democratic regression’ (Waburton and Aspinall 2019), ‘democratic backsliding-democratic recession’ (Old Writer 2017), ‘neo-New Order’ (Lindsey 2017), ‘illiberal democracy’ (Ingleson 2017), ‘neo-authoritarianism’ (Wiratraman 2018), dan Fealy (2020) yang menggunakan istilah ‘repressive pluralism, dynasticism and the overbearing state’.

[3] Dua Tahun Terakhir, 120 Warga Papua Dipenjara atas Tuduhan Makar, Tempo, Rabu, 10 Juni 2020, https://nasional.tempo.co/read/1351718/dua-tahun-terakhir-120-warga-papua-dipenjara-atas-tuduhan-makar

[4] Perkara Nomor: 15/Pid.B/2021/PN Sgi dan 14/Pid.B/2021/PN Sgi.

[5] https://rsf.org/en/index, terakhir, peringkat Indonesia naik posisinya dari 117 ke 108 dari 180 negara (2023)

[6] Perkara Nomor: 230/G/2019/PTUN-JKT di PTUN Jakarta, AJI, Safenet v. Presiden, Menkominfo

[7] SAFEnet (2020) Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019, Bangkitnya Otoritarian Digital. Juli, 2020. Denpasar: SAFEnet. Bisa diakses di https://safenet.or.id/wp-content/uploads/2020/10/Laporan-Situasi-Hak-Digital-Indonesia-2019.pdf

[8] Indonesia Semakin Dekat ke Otoritarianisme Digital, Kompas.com – 11/07/2022, https://nasional.kompas.com/read/2022/07/11/19593901/2022-indonesia-semakin-dekat-ke-otoritarianisme-digital

Akun LBH Pers
Author: LBH Pers

Tinggalkan Balasan