LBH Pers secara tegas memprotes disahkannya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing (Perpol 3/2025) yang mewajibkan jurnalis dan peneliti asing memiliki surat keterangan kepolisian sebagai syarat untuk melakukan liputan serta penelitian di Indonesia. Aturan ini tidak hanya membatasi kebebasan pers, tetapi juga mencerminkan bahwa Negara tidak memberikan penghormatan terhadap kerja-kerja jurnalistik dan perkembangan pengetahuan melalui penelitian. Kebijakan ini merupakan bentuk kontrol berlebihan yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan keterbukaan informasi.
Pemberlakuan aturan ini memperlihatkan semakin menguatnya kontrol negara terhadap arus informasi dan berpotensi digunakan sebagai alat untuk menghambat pemberitaan kritis terhadap pemerintah. Kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi serta kebebasan pers sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, pembatasan terhadap jurnalis asing juga dapat berimbas pada berkurangnya pemberitaan independen dan objektif mengenai situasi Indonesia di kancah internasional.
Tidak ada dasar hukum yang jelas yang dapat membenarkan kewajiban surat keterangan kepolisian ini, selain sebagai alat penghambat dan ancaman bagi kebebasan pers. Padahal, transparansi dan akses informasi yang bebas adalah pilar utama dalam sistem demokrasi yang sehat. Menghambat kerja jurnalis asing sama saja dengan membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi yang objektif, jujur dan akurat.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberi kewenangan kepada Kepolisian untuk melakukan pengawasan terhadap orang asing berkoordinasi dengan instansi terkait, dalam hal ini pihak Keimigrasian, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i. Namun, pasal ini tidak merinci batasan dan mekanisme pengawasan tersebut. Perpol 3/2025 hadir sebagai aturan turunan, tetapi alih-alih sekadar mengatur pelaksanaan teknis secara jelas dan memastikan perlindungan hak individu, peraturan ini justru melampaui kewenangan yang semestinya dimiliki oleh regulasi internal kepolisian.
Pembatasan terhadap jurnalis asing semakin menunjukkan buruknya penghormatan negara terhadap kebebasan pers, terutama dalam peliputan isu Papua. LBH Pers mencatat terdapatnya pola penghambatan arus informasi dari wilayah yang diduga mengalami pelanggaran HAM serius. Beberapa kasus mencerminkan upaya pembungkaman ini, seperti yang dialami jurnalis-jurnalis asing yang hendak meliput di Papua, banyak dari mereka yang dipersulit proses administrasinya dengan berbagai dalih, dari ketidakamanan maupun permasalahan pada visa, serta tindakan kepolisian pada 2015 yang merampas dan memaksa penghapusan hasil liputan jurnalis Al Jazeera, Bloomberg, dan ABC Australia saat meliput aksi protes Aliansi Mahasiswa Papua di Jakarta.
Pembatasan terhadap peneliti asing sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang pada 2022 lalu mengeluarkan Surat mengenai Daftar Hitam peneliti asing pasca melakukan penelitian mengenai Orang Utan. Daftar Hitam tersebut dikeluarkan lantaran hasil penelitian dianggap dapat menurunkan citra kinerja pemerintahan, khususnya KLHK, pada saat itu. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk kebijakan anti-sains yang membatasi kebebasan akademik serta wujud kontrol kekuasaan atas produksi pengetahuan yang melanggar prinsip kebebasan akademik dan otonomi keilmuan.
Berbagai upaya menghalangi aktivitas jurnalistik dan penelitian asing—mulai dari kekerasan, pembatasan akses, hingga kebijakan bermasalah—adalah bukti nyata semakin keroposnya demokrasi. Perpol 3/2025 justru memperkuat legitimasi atas tindakan tersebut. Seharusnya, negara berkomitmen memulihkan iklim demokrasi yang sehat dengan membuka akses informasi bagi dunia internasional. Jurnalisme dan penelitian bukanlah ancaman seperti spionase, sabotase, atau propaganda sebagaimana disebut dalam Pasal 3 huruf b, melainkan bagian dari mekanisme pengawasan yang esensial dalam pemerintahan demokratis.
Sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, Indonesia seharusnya menjamin kebebasan pers dan tidak memberlakukan pembatasan yang tidak proporsional terhadap aktivitas jurnalistik maupun penelitian. Pasal 19 ICCPR secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi tanpa hambatan.
LBH Pers menegaskan bahwa kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi yang tidak boleh dikekang oleh aturan yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, LBH Pers mendesak:
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum Pers
Narahubung: +62 821-4688-8873 (Hotline LBH Pers)