Jakarta, 28 Maret 2025 – LBH Pers mengecam keras segala bentuk pelemahan terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi yang diatur melalui produk regulasi bermasalah. Pada Kamis, 20 Maret 2025 Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI. Revisi ini disusun secara tertutup dan tanpa melalui keterlibatan Masyarakat sipil dan secara substansi merepresi kedaulatan dan supremasi sipil. Pasca produk regulasi yang menabrak sejumlah ketentuan prosedural tersebut disahkan, pada 27 Maret 2025 yang lalu Kepala Biro Info Pertahanan (Infohan) Setjen Kementerian Pertahanan RI menyebutkan bahwa TNI akan melakukan operasi informasi dan disinformasi terhadap pihak-pihak yang mengancam kedaulatan negara.
Operasi tersebut dilakukan termasuk terhadap mereka yang memiliki motif untuk ‘melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah’. Langkah ini tidak hanya mengancam kebebasan berekspresi dan hak privasi warga negara, tetapi juga membuka ruang bagi praktik pengawasan massal yang sewenang-wenang (unlawful mass surveillance) tanpa batasan yang jelas. Hal ini adalah bentuk baru penjajahan digital oleh negara terhadap rakyatnya sendiri. Dalam draft RUU TNI yang dibahas dalam rapat paripurna DPR-RI pada 18 Februari 2025 yang lalu dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) angka 15 memperluas tugas pokok TNI bertugas untuk “membantu dalam upaya menanggulangi Ancaman pertahanan siber;”. Adapun dalam Penjelasan yang dimaksud dengan “membantu dalam upaya menanggulangi Ancaman pertahanan siber” adalah TNI berperan serta dalam upaya menanggulangi Ancaman siber pada sektor pertahanan (cyber defense).
Dalam sebuah negara demokratis, ruang digital seharusnya menjadi tempat yang bebas dari intimidasi dan represi negara. Pengawasan siber yang dilakukan oleh institusi pertahanan tanpa dasar hukum yang jelas berisiko melanggar prinsip negara hukum, melanggengkan ketakutan, dan membungkam kritik terhadap pemerintah. Setiap bentuk pengawasan harus dilakukan secara terbatas, proporsional, dan hanya oleh aparat penegak hukum dengan dasar dugaan tindak pidana serta harus disertai dengan perintah pengadilan.
Terdapat setidaknya 3 (tiga) poin sesat pikir yang dilakukan Negara dalam kasus ini, hal tersebut meliputi:
Pertama, perluasan kewenangan Militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) melanggar prinsip dan kebiasaan yang diakui Internasional. Praktik operasi militer selain perang di Internasional dikenal dengan istilah Military Operations other Than War (MOOTW). Adapun peran Militer dalam OMSP berfokus pada upaya pencegahan perang, penyelesaian konflik dan promosi perdamaian serta mendukung otoritas sipil dalam merespon krisis bencana domestik. Berbagai misi sipil yang diatur dalam peran OMSP ini harus diatur secara ketat dalam legislasi masing-masing negara. Pelibatan Militer dalam ruang siber di ruang sipil tidak sesuai dengan kompetensi absolut militer sebagaimana mandat konstitusi. Pernyataan Kemenhan untuk melakukan operasi siber terhadap ‘siapapun yang dianggap melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah’ merupakan sebuah bentuk kesewenang-wenangan dan pelanggaran berat terhadap prinsip dasar hak asasi manusia dan demokrasi. Tugas dan peran Militer adalah menjaga kedaulatan Negara sebagai sebuah entitas publik dan bukan “Pemerintah” sebagai entitas yang dimiliki oleh orang-perseorangan.
Kedua, Manipulasi Definisi Hoaks untuk Menekan Kritik. Pernyataan bahwa operasi informasi hanya ditujukan kepada penyebar hoaks dan pemutar balik fakta yang mengancam kedaulatan bangsa (sebagaimana dikutip dari pernyataan yang disampaikan pada liputan Tempo berujudul “Kemenhan: Operasi Informasi di Ruang Siber Targetkan Pihak yang Ancam Kedaulatan Bangsa”, yang tayang pada tanggal 26 Maret 2025 https://www.tempo.co/politik/kemenhan-operasi-informasi-di-ruang-siber-targetkan-pihak-yang-ancam-kedaulatan-bangsa-1224326) adalah klaim yang problematik sebab kewenangan absolut dalam penegakkan hukum nasional dipegang oleh aparat penegak hukum (yudikatif). Sementara secara legal formil, penerapan ketentuan hoaks yang mengakibatkan keonaran telah dieliminir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 dan pembatasan lainnya tertuang dalam perubahan UU ITE 2024 yang lalu. Pengaturan klausul hoaks dalam kewenangan OMSP berpotensi untuk membungkam kritik dan mempersempit ruang ekspresi digital masyarakat. Dalam berbagai kasus, kritik terhadap kebijakan pemerintah kerap dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara, sebagaimana yang terjadi dalam kasus kriminalisasi aktivis dan jurnalis yang dianggap sebagai praktik makar. Selama tidak ada standar yang jelas dan mekanisme pengawasan independen, operasi informasi berpotensi besar menjadi alat represi yang mengancam kebebasan sipil.
Ketiga, Ancaman Serius terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Rencana operasi informasi ini berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) mengatur bahwa setiap pemrosesan data pribadi harus didasarkan pada prinsip transparansi, keadilan, dan akuntabilitas. Tanpa kejelasan batasan dan mekanisme pengawasan independen, operasi informasi ini berpotensi besar melanggar aturan tersebut.
Lebih jauh, kebijakan ini juga bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional. Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, dengan tegas melarang campur tangan sewenang-wenang atau ilegal terhadap privasi seseorang. Begitu pula dengan Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menegaskan bahwa tidak seorang pun boleh dikenakan gangguan terhadap kehidupan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau korespondensinya.
Kami menegaskan bahwa operasi siber semacam ini tidak boleh dijadikan instrumen untuk membungkam kebebasan berekspresi dan mempersempit ruang demokrasi di Indonesia. Setiap upaya militerisasi ruang digital harus dihentikan, dan pemerintah wajib memastikan bahwa kebijakan keamanan siber tetap dalam koridor negara hukum serta menghormati hak-hak sipil dan politik warga negara. Oleh karena itu, kami mendesak:
Tertanda, Lembaga Bantuan Hukum Pers.
Narahubung: Hotline LBH Pers 082146888873