Jakarta, 12 Maret 2025 – Tindak Pidana Eksploitasi Seksual dan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap perempuan dan anak yang diduga dilakukan oleh Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Tindakan ini kembali mencederai kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Tiga tahun terakhir, Indonesia dihebohkan dengan berbagai pemberitaan terkait keterlibatan petinggi institusi Kepolisian dalam sindikat berbagai kejahatan nasional maupun internasional, seperti kasus narkotika, penghilangan paksa nyawa, tindakan brutal, hingga TPPO. Hal ini berdampak pada rusaknya citra dan terus menurunnya kepercayaan masyarakat kepada instansi Kepolisian.
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) wajib memberikan sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan serta menjamin terpenuhinya hak-hak korban atas keadilan dan pemulihan. Segala bentuk pengabaian terhadap kasus kekerasan seksual akan semakin memperlihatkan kegagalan aparat penegak hukum dalam melindungi warga negara, terutama perempuan dan anak.
Dugaan tindakan yang dilakukan oleh Kapolres Ngada merupakan kejahatan berlapis yang meliputi:
Pertama, kekerasan seksual terhadap anak. Dugaan tindakan yang dilakukan Kapolres Ngada merupakan kejahatan terhadap hak asasi perempuan dan anak yang dilakukan dengan memanfaatkan ketimpangan dalam relasi kuasa. Tindakan ini bertentangan dengan hukum internasional yaitu Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak Anak. Dalam hukum nasional, tindakan tersebut diatur sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kekerasan Seksual yaitu eksploitasi seksual terhadap anak, kekerasan seksual berbasis elektronik yang dilakukan terhadap anak, dengan melanggar berbagai ketentuan antara lain: (1) Pasal 28B ayat (2) UUD 1945; (2) Pasal 4 ayat (1) huruf i, ayat (2) huruf c dan e Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS); (3) Pasal 12 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO); dan (4) Pasal 76I jo Pasal 88 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam konteks ini, pelaku dapat dijerat dengan hukuman yang lebih berat mengingat korban adalah anak, yang berhak atas perlindungan penuh dari negara. Negara wajib menjamin pemenuhan hak Anak Korban terkait penanganan, pelindungan dan pemulihan, termasuk aspek kesehatan fisik, kondisi psikis, dan proses reintegrasi sosial bagi Anak Korban. Selain itu, diperlukan harmonisasi antara UU TPPO, UU Perlindungan Anak, dan UU TPKS untuk memastikan bahwa ketiga regulasi tersebut dapat secara efektif melindungi anak dan perempuan dari eksploitasi seksual di ruang digital.
Kedua, Kekerasan berbasis Gender yang Difasilitasi Teknologi (Technology-facilitated Gender-based Violence). Kapolres Ngada diduga melakukan transmisi video bermuatan seksual ke situs porno di Australia, yang merupakan bentuk eksploitasi seksual berbasis teknologi. Tindakan ini melanggar Pasal 14 UU TPKS serta Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Tindakan ini juga melanggar hak privasi korban, khususnya dalam konteks tipologi privasi yang mencakup privasi atas tubuh. Data yang berkaitan dengan fisik, seperti gambar wajah dapat dikualifikasikan sebagai data biometrik sebagaimana diatur dalam UU Pelindungan Data Pribadi. Penyalahgunaan data pribadi merupakan tindak pidana sebagaimana yang diatur pada Pasal 67 UU PDP. Privasi atas tubuh mencakup hak individu untuk tidak mengalami eksploitasi atau pelecehan dalam bentuk pengambilan dan penyebaran konten asusila tanpa persetujuan. Tindakan yang diduga dilakukan oleh Kapolres Ngada ini menambah daftar panjang ketidakamanan ruang digital terhadap kelompok rentan. Dalam upaya pemulihan hak korban, negara wajib menjamin hak untuk penghapusan konten yang bermuatan tindak pidana kekerasan seksual (the right to be forgotten) sebagaimana Pasal 47 UU TPKS dan Pasal 26 UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ketiga, penyalahgunaan wewenang. Sebagai aparat penegak hukum, Kapolres memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi masyarakat. Dugaan penyalahgunaan jabatan untuk melakukan tindak kekerasan seksual semakin memperburuk citra kepolisian dan menunjukkan adanya celah dalam mekanisme pengawasan internal di tubuh Polri. Hal ini mencederai kepercayaan publik terhadap kepolisian sebagai institusi penegak hukum.
Keempat, Negara gagal memberikan jaminan Perlindungan terhadap Korban, pengaduan bermula dari laporan otoritas Australia, apabila tidak ada pengaduan maka kejahatan yang dilakukan Kapolres Ngada berlanjut dan menambah jumlah dan penderitaan korban hal ini menunjukkan bagaimana Negara belum mampu melindungi anak dari tindak kejahatan. Penanganan kekerasan seksual selama ini hanya berfokus kepada pemidanaan pelaku, tanpa memperhatikan pencegahan, perlindungan, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan korban.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana kami uraikan di atas, LBH APIK Jakarta dan LBH Pers mendesak Polri untuk:
Narahubung
Christine LBH APIK Jakarta (+62 852-8378-0762)
Gema LBH Pers (+62 821-4688-8873)