Jakarta, 3 Oktober 2024 – Majelis hakim menolak sepenuhnya permohonan eksepsi yang diajukan oleh Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (TIM ASTAGA) dalam sidang putusan sela yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (3/10). Sebagai akibatnya, proses kriminalisasi terhadap Septia terus berlanjut.
Gema Gita Persada, salah satu pengacara Septia dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH Pers), menyoroti kegagalan majelis hakim dalam melihat ketidakadilan yang ada pada kasus ini.
“Penolakan eksepsi yang dibacakan pada hari ini menunjukan bahwa majelis hakim gagal mengidentifikasi dimensi ketidakadilan yang terdapat dalam kasus ini, pertimbangan putusan sela cenderung hanya melihat dari sudut pandang penuntut umum” ujar Gema.
Gema menambahkan, perlu dukungan dari masyarakat untuk terus mengawal kasus ini sampai persidangan selesai.
“Namun, di sisi lain, dapat diyakini pula hal-hal yang membuktikan bahwa terdakwa tidak patut dikriminalisasi, justru akan semakin terungkap dengan terang di proses pemeriksaan kelak. Maka dari itu, kami meminta kepada seluruh elemen masyarakat untuk mengawal kasus ini sampai keadilan didapatkan” tambahnya.
Sementara itu, Ganda Sihite dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyoroti kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam mengadili perkara ini.
Persoalan kewenangan PN Jakpus merupakan salah satu poin utama dalam eksepsi yang diajukan, di mana kuasa hukum Septia berpendapat bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara ini karena locus delicti-nya berlokasi di dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ganda menambahkan, bahwa hakim tidak mengabaikan berbagai hal dalam mengambil keputusan.
“Hakim tidak memperhatikan Pasal 143 ayat 3 KUHAP terkait kelengkapan berkas perkara, dan lebih berpandangan ke tanggapan dari JPU yang mana berkas perkara dalam hal bukti diajukan saat pemeriksaan alat bukti. Hakim juga mengabaikan Pasal 1 ayat 2 KUHP terkait dengan adanya perubahan Undang-undang maka yang didakwakan adalah dakwaan yang menguntungkan, Hakim menolak ketentuan tersebut sebagai dalam penerapan pasal berdasarkan dari penyidikan” tegasnya.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyyin, menyebut putusan hakim ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Ia menilai, kriminalisasi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sudah direvisi akan terus berlanjut.
“Hakim memilih mengakomodir dakwaan jaksa yang menggunakan pasal karet di UU ITE versi 2016. Ini semakin memperlihatkan bahwa perubahan dalam UU ITE versi 2024 yang digadang-gadang akan menghentikan kriminalisasi terakhir tidak berguna. UU ITE terus dijadikan sebagai alat represi” ujarnya.
Berbagai organisasi serikat buruh turut mengawal persidangan Septia. Perwakilan Federasi Buruh Karawang menyerukan kepada seluruh kelas pekerja untuk turut mengawal kasus Septia. “Kami, dari Federasi Buruh Karawang, mengawal pembebasan Septia tanpa syarat. Lawan kriminalisasi buruh perempuan oleh pengusaha! Bebaskan Septia!” tegasnya.
Kasus Kriminalisasi Septia
Septia adalah seorang eks-buruh di Hive Five (PT. Lima Sekawan) milik influencer Jhon LBF. Ia dilaporkan oleh mantan atasannya itu setelah menceritakan pelanggaran hak-hak pekerja yang dialaminya selama bekerja di perusahaan tersebut melalui akun X miliknya. Berbagai dugaan pelanggaran hak pekerja yang dialami Septia di antaranya adalah pemotongan upah sepihak, upah di bawah UMP, jam kerja berlebihan, tidak ada BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, tidak ada slip gaji, hingga tidak ada salinan kontrak.
Pada 26 Agustus 2024, Septia sempat ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanpa alasan yang jelas. Kemudian, pasca persidangan yang berlangsung pada 19 September 2024, ia dilepaskan dan menjadi tahanan kota. Hingga saat ini, Septia berstatus sebagai tahanan kota.
Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Septia telah melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik dan melapisinya dengan Pasal 36 UU ITE tentang pelanggaran yang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Akibatnya, saat ini Septia terancam 12 tahun bui.
Tim kuasa hukum Septia sebelumnya sudah mengajukan eksepsi. Beberapa hal yang menjadi argumentasi eksepsi adalah soal kewenangan PN Jakpus untuk mengadili kasus Septia, legal standing Jhon LBF sebagai pelapor, kebebasan berekspresi Septia sebagai korban pelanggaran hak-hak pekerja, tidak diupayakannya restorative justice oleh JPU, serta penggunaan pasal karet di UU ITE lama oleh JPU, padahal sudah ada UU ITE yang baru.
Kontak media
Untuk informasi lebih lanjut terkait kriminalisasi Septia ini, media dapat menghubungi:
Organisasi Masyarakat Sipil yang Terlibat: