Oleh: Ade Wahyudin
Overview
Kasus ini muncul karena terdakwa dilaporkan mencemarkan nama baik akibat pernyataannya di sebuah media massa. Terdakwa dalam hal ini adalah seorang narasumber (MOHAMMAD AMRULLAH, S.H., M.HUM., bin TAUFIK). Terdakwa diputus bebas berdasarkan Putusan Nomor 646 K/Pid.Sus/2019.
Kronologi
Pasal yang didakwakan
Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pertimbangan
Pertimbangan Hakim
Bahwa kendati Terdakwa telah terbukti melakukan wawancara yang diliput, disiarkan dan ditulis oleh beberapa media baik online Banyuwangi Times maupun media elektronik lainnya akan tetapi perbuatan Terdakwa tersebut tidak dapat dinilai sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebab;
Putusan
MENGADILI SENDIRI
Diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada hari Kamis tanggal 25 April 2019 oleh Dr. H. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Desnayeti, M., S.H., M.H., dan Sumardijatmo, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Hakim-Hakim Anggota.
Pandangan LBH Pers terhadap Putusan Nomor 646 K/Pid.Sus/2019
Kami sangat mengapresiasi putusan ini, dengan putusan ini semakin memperjelas bahwa posisi narasumber di dalam karya jurnalistik dilindungi oleh UU Pers.
LBH Pers sejak lama menyoroti pola serangan terhadap kebebasan pers adalah salah satunya menyerang narasumbernya. Apakah menggunakan kekerasan fisik, siber maupun menggunakan pasal pidana untuk mengkriminalisasi. Beberapa kasus yang sempat LBH Pers tangani dan soroti misalnya dilaporkannya mantan Aktivis ICW Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo yang dilaporkan karena dianggap mencemarkan nama baik Prof Romli Atmasasmita[2], kemudian Erwin Natosmal Oemar, seorang peneliti hukum dari Indonesian Legal Roundtable dilaporkan oleh Kapolri Badrodin Haiti karena mengeluarkan opininya di acara Indonesian Lawyers Club (ILC) TV One Pada 25 Agustus 2015.[3] Selanjutnya pelaporan Mantan Dirdik KPK Aris Budiman yang melaporkan mantan aktivis ICW Donal Fariz karena dianggap mencemarkan nama baik saat menjadi narasumber program Aiman Kompas TV.[4] Kemudian di tahun 2018 terdapat kasus pelaporan Mantan Jubir Komisi Yudisial Farid Wajdi karena menjadi salah satu narasumber di sebuah media massa.[5]
Dari semua kasus tersebut di atas, sempat dibawa ke Dewan Pers dan Dewan Pers menyatakan bahwa pernyataan orang yang menjadi narasumber sebuah karya jurnalistik adalah bagian dari karya jurnalistik, oleh karenanya mekanisme yang haru ditempuh adalah keberatan melalui sengketa pers. Surat Dewan Pers nomor 591/DP/K/X/2017 (Kasus Donal Fariz) menyatakan Narasumber pada acara Talkshow Aiman yang ditayangkan TV Kompas adalah produk jurnalistik yang dilindungi undang-undang. Para narasumber yang diwawancarai dan bicara dalam hal tersebut dipilih dan diketahui oleh pemimpin redaksi/penanggung jawab pemberitaan. Dan semua yang disampaikan narasumber dan kemudian ditayangkan melalui siaran TV dalam acara seperti itu sepenuhnya adalah tanggungjawab pemimpin redaksi/penanggung jawab TV Kompas.
Kasus kriminalisasi atau intimidasi narasumber setiap tahun ditemui, misalkan di tahun 2021 terdapat Ibu dari korban pencabulan dilaporkan karena mengungkapkan kejanggalan proses hukum kepada media.[6] Dan kasus Eks pimpinan KPK Agus Rahardjo yang dilaporkan karena menjadi narasumber media.
Fenomena kriminalisasi dan intimidasi terhadap narasumber sangat berbahaya bagi kebebasan pers dan bisa dianggap sebagai intervensi terhadap independensi ruang redaksi. Sebab, narasumber bisa gamang dan takut dalam membeberkan pernyataan kritis terhadap isu sosial-politik. Akibatnya, publik bisa kehilangan akses pada informasi yang mendalam, karena narasumber sudah melakukan sensor mandiri pada pernyataannya. Sehingga publik tak punya lagi referensi informasi yang kuat.
Maraknya kriminalisasi narasumber, selain menyebabkan narasumber melakukan swasensor terhadap pernyataannya, juga menimbulkan masalah baru antara narasumber dengan media. Media dan narasumber seringkali saling berusaha lepas dari tanggungjawab dalam menghadapi tuntutan hukum. Media merasa tidak bertanggungjawab terhadap pernyataan narasumber dengan alasan sudah berimbang, berita akurat dan sesuai pernyataan narasumber, namun disisi lain, narasumber merasa pernyataannya sudah melewati proses editing yang panjang sebelum diterbitkan menjadi berita.
Di dalam putusan 646 maupun Keputusan Dewan Pers mengenai posisi narasumber, maka dapat disimpulkan bahwa Narasumber adalah bagian dari produk jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang pers. Dan mekanisme keberatan terhadap pers adalah Hak Jawab, Hak Koreksi ataupun pengaduan langsung ke Dewan Pers. Dalam konsep pertanggung jawaban pers, pihak yang bertanggung jawab dalam produk jurnalistik adalah seorang Pemimpin Redaksi (Penjelasan Pasal 8 UU Pers).
referensi
[1] https://news.detik.com/berita/d-7112228/ma-narasumber-berita-tak-bisa-dikenai-pasal-pencemaran-nama-baik
[2] https://rmol.id/amp/2015/05/21/203558/resmi-prof-romli-laporkan-dua-aktivis-icw-dan-mantan-penasihat-kpk-ke-bareskrim
[3] https://nasional.kompas.com/read/2016/01/25/18003331/read-adverd.html
[4] https://www.merdeka.com/peristiwa/dirdik-kpk-polisikan-peneliti-icw-karena-tersinggung.html
[5] https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-jubir-ky-harusnya-diselesaikan-melalui-dewan-pers-lt5c078fcaae35d/
[6] https://sulsel.suara.com/read/2021/10/17/094252/polisi-terima-laporan-pencemaran-nama-baik-kasus-dugaan-pencabulan-anak-di-luwu-timur