Jakarta – LBH Pers, didukung oleh Internews Media dan USAID, telah mengadakan “Diskusi Multi Stakeholder untuk Mendorong Perlindungan Jurnalis dan Independensi Media dalam Masa Pemilu 2024” di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (2/8).
Dalam kegiatan ini, para stakeholder dari berbagai kalangan dipertemukan untuk mendiskusikan tantangan dalam mewujudkan independensi media dan perlindungan jurnalis pada momen Pemilu. Chief of Party Internews Media, Eric Sasono, mengatakan harapannya diskusi tersebut dapat menghasilkan rencana-rencana tindak lanjut untuk diimplementasikan masing-masing lembaga yang hadir.
Adapun stakeholder yang hadir di antaranya adalah KPU RI, KPI RI, Mabes Polri, Dewan Pers, Perludem, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan lembaga mitra media serta organisasi pers.
Diskusi dibuka dengan penyampaian sambutan oleh Direktur Ekstekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, yang menyampaikan relasi yang erat antara kebebasan pers dengan pemilu yang demokratis. Kebebasan pers di momen pemilu dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni independensi media dan perlindungan jurnalis.
Menyangkut independensi media, Ade mengingatkan, bahwa media harus bersikap profesional, teliti, dan independen, agar informasi yang tersampaikan ke publik proporsional dan objektif.
“Kita harus menggunakan kacamata yang secara jernih dapat melihat, bahwa media sebagai sebuah industri yang sangat rentan diintervensi oleh orang-ornag yang berpengaruh di dalam media tersebut, baik pemilik maupun jurnalisnya sendiri. Jika informasi yang diberikan tidak akurat karena adanya pengaruh dari orang-orang tertentu, yang rugi adalah masyarakat itu sendiri,” jelas Ade.
Terkait tentang pelindungan jurnalis, Ade mengilustrasikan tren kekerasan terhadap jurnalis melalui data yang dikumpulkan oleh LBH Pers.
“Terdapat pola kekerasan pers yang sangat khas pada momen pemilu. Ketika sebuah media menyatakan dukungannya ke salah satu calon, bahkan pemiliknya adalah pimpinan partai, maka tidak jarang ketika jurnalis media tersebut meliput, mendapatkan kekerasan.. yang jadi korban adalah jurnalis. Lebih jauh lagi, masyarakat,” pungkas Ade.
Partisanisme Tantangan Utama Independensi Media
Suatu media yang bergabung ke dalam suatu kubu politik, atau biasa disebut media partisan, dapat ditandai dengan tiga pola utama. Hal ini disampaikan oleh Direktur Remotivi, Muhamah Heychael, sebagai pemantik diskusi, berdasarkan pengamatannya terhadap partisanisme pada momen Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
“Yang pertama adalah jual beli Kampanye negatif dan disinformasi dalam berita dan talkshow politik..(kedua) Seleksi dan pembingkaian berita..(Ketiga) Proporsi iklan politik yang tidak berimbang,” jelas Heychael.
Tantangan independensi media tersebut dapat ditangani, salah satunya, dengan mencapai kepastian hukum. Menurut Heychael, untuk menghadang laju partisanisme, media perlu mengacu pada peraturan perundang-undangan, utamanya UU Penyiaran dan UU Pemilu, sebagai acuan utama saat melakukan peliputan momen pemilu. Terpenting, Heychael menganjurkan agar media punya metode pengukuran untuk menilai proporsionalitas suatu pemberitaan pemilu.
“Perlu dicatat, kita tidak akan mungkin melakukan penilaian sepenuhnya kuantitatif. Pasti akan ada wilayah subjektivitas yang dalam artian positif,” imbuh Heychael mengenai metode pengukuran pemberitaan.
Jurnalis Lebih Rentan saat Pemilu
Menurut pemantik diskusi Ika Ningtyas Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan jurnalis rentan menjadi sasaran kekerasan saat pemilu.
“Pada saat pemilu, media harus mengungkap pelanggaran pemilu, dari partai politik, ataupun kandidatnya. Ini akan membuat jurnalis lebih rentan. Kedua, intervensi ke dalam ruang redaksi saat pemilu bisa lebih tinggi, bisa datang dari pemilik modalnya ataupun jurnalisnya. Selanjutnya, karena kuatnya budaya impunitas. Tidak banyak kasus kekerasan terhadap pers yang diadili,” terang Ika.
“Kasus-kasus yang melibatkan state actor cenderung tidak ada tindak lanjutnya.. Kalau pelakunya warga biasa, preman, itu cepat diadili. Tapi kalau sudah state actor, polisi, tentara, itu jarang, ya,” imbuhnya.
Dalam mengatasi tantangan tersebut, diperlukan tindakan-tindakan preventif. Menurut Ika, para stakeholder terkait perlu menyepakati sebuah protokol untuk menjamin terbukanya akses atas informasi mengenai pemilu bagi publik. Selain itu, perlu dilaksanakan sosialisasi UU Pers, terutama kepada partai politik dari nasional hingga ke tingkat daerah.
“Kemudian, penting juga agar perusahaan media memberikan panduan keamanaan kepada para jurnalisnya untuk meliput pemilu. Termasuk juga memberikan training, bagaimana ketika jurnalis mendapatkan kekerasan.. Penting juga agar media membentuk SOP Anti-Kekerasan Seksual baik secara internal maupun ketika meliput pemilu, termasuk saat meliput acara kepartaian.” Imbuh Ika.
Selain melakukan tindakan preventif, perwujudan ruang aman jurnalis juga harus dilakukan melalui penguatan mekanisme perlindungan nasional. Di antaranya pemberian bantuan dana dan penguatan bantuan hukum bagi jurnalis korban kekerasan. Ika menambahkan, perlu juga mendorong pelaksanaan training berperspektif pers bagi aparat penegak hukum.
Selepas para pemantik diskusi menyampaikan paparannya, para stakeholder mengemukakan rencana tindakan konkrit yang akan dilakukan masing-maisng lembaga untuk mengatasi tantangan tersebut. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk penandatanganan komitmen para perwakilan lembaga untuk turut menjaga independensi media dan ruang aman bagi jurnalis. Harapannya, pertemuan ini berkontribusi bagi tegaknya kebebasan pers dan terlaksananya pemilu yang adil dan transparan.