secretariat@lbhpers.org
(021) 79183485
Koalisi Serius: Revisi UU ITE Jangan Setengah-setengah dan Terburu-buru

Koalisi Serius: Revisi UU ITE Jangan Setengah-setengah dan Terburu-buru

Posted by: LBH Pers
Category: Advokasi, Kebebasan Berekspresi, Kebebasan Pers, Siaran Pers
Amnesty International Indonesia

Jakarta, 10 Juli 2023 – Dalam masa persidangan V DPR RI, pembahasan revisi kedua UU ITE dilakukan secara tertutup, tergesa-gesa, dan minim partisipasi bermakna dari masyarakat. Kondisi ini berpotensi membahayakan demokrasi dan melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh instrumen hukum nasional dan internasional. Saat ini revisi kedua UU ITE telah memasuki tahap pembahasan oleh tim panja Komisi I DPR dengan pemerintah. Terhitung hanya dua kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dilakukan dan diikuti dengan sejumlah rapat pembahasan yang dilakukan secara tertutup.

Berdasarkan catatan Indonesian Parliamentary Center (IPC) hingga 7 Juli 2023, setidaknya terdapat 12 rapat terkait revisi kedua UU ITE yang diketahui dari pemeriksaan risalah rapat dan pemberitaan media, dan hanya 5 rapat yang diumumkan secara resmi di website DPR di mana hanya mencantumkan siapa saja yang hadir tanpa menyertakan isi pembahasan. Tidak terdapat informasi yang memadai bagi publik untuk mengetahui apa saja yang dibahas dan hasil pembahasannya. Hal ini tentu saja menyalahi prinsip partisipasi bermakna, di mana seharusnya masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk dipertimbangkan masukkannya, hak untuk mendapatkan penjelasan, serta hak untuk mengajukan komplain (right to be heard, right to informed, right to be considered, right to be explained, right to be complained).

Sebelumnya, Kelompok masyarakat sipil telah diundang dan menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 27 Maret 2023. Koalisi Serius Revisi UU ITE yang diwakili oleh SAFEnet, Amnesty International Indonesia, dan AJI Indonesia menyampaikan tiga rekomendasi, yaitu: pertama, pentingnya melibatkan komisi-komisi lain dalam pembahasan revisi UU ITE mengingat kompleksitas substansinya. Kedua, perlunya transparansi dalam proses pembahasan dan tidak terbatas hanya melalui RDPU. Serta, ketiga, perlunya melakukan pembahasan pada pasal-pasal bermasalah lainnya dan tidak terbatas hanya pada pasal yang disebutkan dalam Surat Presiden pada Desember 2021. Sayangnya, hingga saat ini, ketiga masukan tersebut tidak digubris dalam proses pembahasan Revisi UU ITE yang dilakukan oleh Komisi I DPR-RI.

Secara substansi, revisi terbaru dari pasal-pasal yang diajukan oleh Panja Pemerintah juga masih memiliki banyak masalah. Pertama, dalam DIM revisi kedua UU ITE versi Juli 2023, beberapa pasal tindak pidana yang bermasalah masih dimuat dengan rumusan yang tidak jauh berbeda dari draft UU ITE versi Desember 2021. Misalnya saja pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2, yang awalnya dijanjikan akan dihapus di UU ITE setelah pengesahan KUHP pada akhir 2022. Selain itu, pasal 27 ayat 1 juga masih dipertahankan, padahal sudah bisa diakomodasi dalam UU TPKS. Padahal, sudah banyak diketahui bahwa Pasal 27 ayat (1) UU ITE seringkali digunakan untuk mengancam korban kekerasan seksual maupun pendamping korban yang berjuang mendapatkan keadilan. Sedangkan, pasal-pasal lain seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian banyak digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat dan menekan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pasal-pasal tersebut sudah sepatutnya dicabut dari UU ITE.

Kedua, ketentuan peralihan dalam Pasal 622 ayat (1) huruf r Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru) mengatur pencabutan dan penggantian beberapa pasal dalam UU ITE yakni, Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 36, Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (3), Pasal 45A ayat (2), Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 ayat (2). Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR seharusnya tidak lagi memasukkan pasal-pasal baru yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP Baru seperti Pasal 28A ayat (1) dan (2). KUHP Baru telah mengatur tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan SARA dalam Pasal 300-301 KUHP dan juga telah mengatur tindak pidana penyebaran berita bohong dalam Pasal 263-264 KUHP. Penambahan Pasal 28A ayat (1) dan (2) dalam revisi UU ITE akan berakibat adanya duplikasi pasal ketika KUHP Baru berlaku pada 2026 yang akan datang. Hal ini akan berdampak pada kebingungan APH (Aparat Penegak Hukum) dan masyarakat terkait implementasi pasal-pasal tersebut.

Ketiga, melihat implementasi UU ITE sejak 2008, Koalisi Serius selalu mendorong revisi UU ITE yang dilakukan secara total. Idealnya, keseluruhan pasal dalam UU ITE perlu didiskusikan dan disusun bersama dengan masyarakat sipil, tidak terbatas pada beberapa pasal saja. Dalam DIM kedua revisi UU ITE, terdapat beberapa pasal yang juga krusial untuk dibahas namun tidak masuk ke dalam DIM seperti Pasal 26 ayat (3), Pasal 40 ayat (2a) dan (2b), serta Pasal 43. Pasal 26 ayat (3) terkait penghapusan data seharusnya dihapus dari UU ITE karena ketidakjelasan rumusan beberapa frasa dan berpotensi tumpang tindih dengan peraturan perundangan lainnya, seperti UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) memerlukan pengaturan yang lebih rinci terkait pihak yang seharusnya melakukan moderasi konten serta pelibatan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menghindari pemutusan akses informasi dan/atau dokumen elektronik yang sewenang-wenang.

Untuk itu, Koalisi Serius Revisi UU ITE mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk:
1. Menunda pengesahan perubahan kedua atas UU ITE sampai pasal-pasal bermasalah dibahas secara tuntas dan tidak lagi berpotensi melanggar hak asasi manusia;
2. Mendesak pemerintah dan DPR membuka proses pembahasan revisi kedua UU ITE secara transparan sehingga publik mengetahui seluruh isi pembahasan. Pembahasan revisi UU ITE secara tertutup hanya akan menghasilkan aturan yang sarat kepentingan elite dan jauh orientasi perlindungan hak-hak asasi manusia;
3. Menolak praktik ugal-ugalan yang mengabaikan partisipasi publik yang bermakna dalam revisi UU ITE. Masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, mendapatkan informasi, dipertimbangkan masukkannya, mendapatkan penjelasan, serta mengajukan komplain. Partisipasi publik tidak bisa disimplifikasi hanya dengan sosialisasi satu arah.

 

Narahubung:
SAFEnet – 08119223375
LBH Pers –
Amnesty International Indonesia – 081188807834

 

Koalisi Serius Revisi UU ITE:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Amnesty International Indonesia
Greenpeace Indonesia
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Imparsial
Koalisi Perempuan Indonesia
Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta
LBH Masyarakat
LBH Pers Jakarta
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist)
Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE)
Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI)
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI)
Remotivi
Rumah Cemara
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI)
Yayasan Perlindungan Insani (Protection International)

Akun LBH Pers
Author: LBH Pers

Tinggalkan Balasan