Pada 2016, Indonesia masuk dalam barisan 195 negara yang berupaya mengurangi emisi karbon, pemicu perubahan iklim di planet bumi. Indonesia bulat menyatakan komitmennya untuk mengurangi laju peningkatan suhu bumi setelah meratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement). Berbagai upaya untuk menjaga suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celsius terus dilakukan. Oleh pemerintah, penggiat organisasi masyarakat sipil hingga swasta. Tapi hasilnya, masih jauh dari harapan.
Rendahnya kesadaran warga mengenai isu perubahan iklim ini sejalan dengan rendahnya perhatian penyedia informasi di Indonesia terhadap isu lingkungan hidup, terutama oleh media massa arus utama. Kajian Climate Tracker (2020) juga menunjukkan media massa di Indonesia tidak menyajikan informasi yang memadai mengenai energi ter- barukan. Tapi sebaliknya, media massa di tanah air cenderung melihat entitas usaha yang merusak lingkungan (seperti usaha tambang batu bara) sebagai bisnis yang positif dan bahkan tak tergantikan. Kajian ini juga mengindikasikan kepemilikan silang industri media dan industri perusak lingkungan berpengaruh pada kecilnya peliputan media mengenai isu lingkungan hidup.
Indikasi mengenai rendahnya pemahaman jurnalis terhadap aspek saintifik dari perubahan iklim juga ada dalam kajian Climate Tracker. Hal itu diduga jadi sebab frekuensi pemberitaan mengenai perubahan iklim di media massa rendah. Dampak perubahan iklim sudah terjadi di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari bencana iklim yang sering terjadi belakangan ini. Seperti banjir, kekeringan, gagal panen, hingga cekaknya durasi melaut bagi para nelayan di tanah air akibat gangguan cuaca. Namun, media massa yang bertugas menyebarkan informasi seputar perubahan iklim dengan sederet bahayanya masih sangat terbatas.
Beberapa isu mengenai perubahan iklim akibat perusakan sumber daya alam beberapa kali memang dimuat di sejumlah media massa. Tapi isi beritanya sulit dicerna masyarakat. Sementara pada beberapa kasus, pelaku media kadang menyerang balik para penggiat lingkungan yang berupaya mengampanyekan bahaya perubahan iklim. Para penggiat kerap diberi cap agen negara asing.
Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Dua di antaranya, pekerja media yang tidak memahami isu, termasuk konteks isu perubahan iklim. Sementara organisasi masyarakat sipil (aktivis) jarang berkolaborasi dengan media massa dalam kampanye isu perubahan iklim. Oleh sebab itu, untuk melihat potensi kolaborasi ini LBH Pers berupaya memetakan pemberitaan media arus utama, khususnya dalam pemberitaan isu perubahan iklim di media.
Berdasarkan pemahaman di atas, LBH Pers telah melakukan studi terkait media dan perubahan iklim yang membahas perubahan iklim di media daring. Di mana studi tersebut dituangkan dalam buku yang akan di-diseminasi-kan pada 18 Februari 2022. Harapan bahwa buku tersebut dapat menjadi masukan bagi pakar lingkungan dan jurnalis yang membahas isu lingkungan, serta menjadi pengetahuan baru bagi pembaca yang membacanya.
Unduh versi pdf nya di sini!